Melalui digital marketing, sepatu Brodo kian tenar di kalangan anak muda pecinta fesyen. Dalam waktu empat tahun, jumlah produksinya mencapai 4.500 pasang/bulan dari semula 30 pasang/bulan. Kisah sukses Brodo bermula dari kebingungan Muhammad Yukka Harlanda ketika mencari sepatu formal. Kaki Yukka hanya muat untuk sepatu ukuran 46. Ini membuatnya susah mencari sepatu formal. Kalau pun ada, harganya mahal. Tak tertebus oleh kantong mahasiswanya ketika itu. Yukka kemudian sepakat patungan dengan Putra Dwi Karunia, teman sefakultas di Institut Teknologi Bandung. Lalu, keduanya setor modal hingga terkumpul Rp 7 jt. Kemudian, mencari vendor sepatu. Dari modal Rp 7 juta itu menghasilkan 30 pasang sepatu. Hal ini terjadi tahun 2010. “Awalnya kami jual ke keluarga, teman, temannya teman, teman dari temannya teman teman. Istilahnya kami paksa mereka mau beli. Mau dicicil, utang, pokoknya harus beli. Hahahaha…” Yukka berkelakar soal masa susahnya itu. Kala itu, bagi Yukka, yang penting produknya laku dan modal bisa berputar. Maklum, Yukka mengaku tidak punya pengetahuan apa pun soal sepatu. “Malah kalau lebih dulu punya pengetahuan, mungkin saya tidak jadi bisnis sepatu,” ujar dia. Pasalnya, dalam bisnis ini boleh dibilang persaingannya berat. Soal pemain, misalnya. Banyak pemain yang “memelihara” vendor, perajin. Ini jelas merepotkan. Yukka menghabiskan waktu dua bulan untuk mencari vendor. Begitu dapat vendor, Yukka dan temannya Putra tak mau menyia-nyiakan kesempatan.
Yuka dan temannya mengedepankan great design dan great service. “Saya lihat desain-desain sepatu di luar negeri, dan menciptakannya lagi,” tutur dia. Dia mengklaim memberikan material, desain yang berkualitas dengan harga yang masuk akal. Benar saja, sepatu besutannya makin digandrungi. Pesanan mulai berdatangan. Bulan kedua, sudah melakukan restock. “Waktu itu sudah gunakan merk Brodo. Kata itu diambil dari Bahasa Italia, artinya ‘kaldu ayam’. Kenapa Brodo, ya muncul begitu saja,” ujarnya soal penamaan merek sepatunya. Masa awal-awal, Brodo dijual Rp 375.000/pasang.
Melihat bagusnya apresiasi pasar, Yukka mulai menetapkan target-target bisnis dan menyusun strategi. Kala itu dirinya bertekad bisnisnya harus settle dalam waktu empat tahun. Untuk itu, merek harus makin dikenal. Yukka dan Putra lantas memanfaatkan Facebook untuk mengenalkan produk sekaligus jualan. Sarana digital memang dimanfaatkan benar oleh Yukka. Mulai dari e-mail, Google Ads, Google Display Network, Twitter, Instagram, Path, hingga Youtube. Selain melalui ranah digital, Yukka juga mengikutkan Brodo ke berbagai pameran dan juga dipajang di distro. Sepanjang 2011, produk Brodo mejeng di Goods Dept, Bright Spot Market, dan berbagai distro di Jakarta dan Bandung. “Tapi akhir 2011, kita tarik semua. Saya fokuskan melalui digital,” ujar Yukka.
Sejak tahun 2012, Brodo hanya dijual melalui store Brodo di Bandung dan kanal social media. Transaksinya menggunakan BlackBerry Massanger. Sekitar Agustus 2013, Brodo memiliki website e-commerce sendiri dengan alamat www.bro.do, setelah sebelumnya mendirikan Brodo Store di Jalan Kemang Selatan 8 No 64B, Jakarta. Praktis, sejak 2012 Brodo menggunakan channel distribusi sendiri: e-commerce dan toko. “Itu strategi kita untuk berikan customer experience. Kalau lewat distro atau toko orang lain, kan belum tentu pelayannya tahu produk kita dengan benar,” tuturnya. Tampaknya, Brodo Store ingin mengusung konsep knowledge sharing. Ini dapat dilihat, misalnya dari tidak adanya price tag pada produk yang dipajang. Dari situ, komunikasi antara pelanggan dan penjaga toko terjadi. “Orang di sini tahu semua produk yang dipajang, mulai dari harga, material hingga teknik pengerjaan sepatunya,” ujar Yukka. Demikian pula dengan customer service (CS) yang ada di e-commerce Brodo. Awak CS harus bisa melayani pelanggan Brodo layaknya teman baik. “Makanya kita selalu lakukan training agar mereka bisa melayani pelanggan sesuai dengan visi-misi Brodo,” tutur Yukka.
Berbagai strategi yang ditempuh tersebut membuat nama Brodo patut diperhitungkan di dunia fesyen Tanah Air. Saat ini produksi sepatu yang dibanderol antara Rp 250.000 hingga Rp 595.000 itu mencapai 4.500 pasang/bulan. “Kita masih fokus garap pasar dalam negeri, potensinya besar. Pasar luar negeri belum worth it, tidak efisien. Kalau buat gaya-gayaan doang ya bisa saja,” ungkap Yukka soal kemungkinan ekspor, meski tak jarang ada pesanan dari luar negeri. Kini founder PT Harlanda Putra itu tengah fokus mengejawantahkan tiga prinsip perusahaannya: awesome design, awesome customer experience, dan awesome company culture.
Sumber: Dimodifikasi dari majalah Swa http://swa.co.id/entrepreneur/sepatu-brodo-produksi-hingga-4-500-pasangbulan
Daur hidup produk (product life cycle) merupakan salah satu alat yang digunakan dalam proses perencanaan pemasaran yang telah dikenal secara luas.
- Sebutkan dan jelaskan tahap-tahap dalam daur hidup produk
- Berdasarkan wacana, analisislah pada tahap mana posisi produk sepatu ”Brodo” dalam daur hidup produk, berikan pendapat, alasan dan argumen anda.