(Pengajar Hukum Tata Negara IAIN Parepare)
Opini- Diskursus pilkada serentak pada tahun 2024 masih terus menjadi perdebatan oleh para pemerhati pemilu dan demokrasi. Berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, pemungutan suara serentak nasional untuk pilkada di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada November 2024.
Padahal salah satu implikasi hukumnya membuat banyak kursi kepala daerah definitif harus di isi oleh Pelaksana Tugas (Plt). Sedangkan kepala daerah hasil pemilihan 2020 hanya akan menjabat sampai 2024.
Menurut data yang penulis peroleh dari beberapa sumber, pada Tahun 2022 terdapat 101 kepala daerah hasil pilkada tahun 2017 yang berakhir masa jabatannya. Kemudian 171 Kepala Daerah hasil pilkada 2018 akan mengakhiri masa baktinya pada tahun 2023. Dengan ditiadakannya penyelenggaraan pilkada serentak di 2022-2023, maka sebanyak 272 Plt. Kepala daerah yang akan menjabat sampai adanya kepala daerah hasil pilkada serentak 2024.
Kondisi ini yang kemudian merusak kualitas demokrasi dan menimbulkan disharmoni kebijakan pembangunan. Padahal sejatinya, salah satu prasyarat negara demokratis yakni terjadi pertukaran elite berkuasa/kepala daerah secara reguler, yaitu 1 periode selama 5 tahun. Penulis meyakini ada banyak kepala daerah tersakiti karena masa jabatannya berkurang hanya demi ambisi pilkada serentak.
Salah satu implikasi hukumnya adalah RPJMD Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan dokumen perencanaan pembangunan suatu daerah yang menjadi penjabaran Visi Misi Pasangan Kepala Daerah dan Calon Kepala Daerah terpiilih.
RPJMD tersebut menjadi pedoman perencanaan pembangunan daerah selama 5 tahun yang seharusnya mengikuti masa jabatan kepala daerah. Persoalan yang muncul adalah kepala daerah hasil pilkada 2020 lalu hanya menjabat kurang lebih 3,5 tahun .
Pertanyaannya, apakah waktu 3,5 tahun tersebut cukup untuk melaksanakan janji politik yang sudah tertuang dalam RPJMD? Apakah Plt. Kepala Daerah mampu memahami ide dan konsep pembangunan yang di susun oleh Kepala Daerah yang di gantinya?
Selanjutnya, implikasi penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan dalam pengisian Plt. Kepala Daerah. Beberapa partai besar khususnya partai penguasa akan diuntungkan jika Pilkada 2022 dan 2023 diadakan pada 2024. Partai yang akan diuntungkan adalah partai penguasa. Plt. Kepala Daerah akan dipersiapkan jauh-jauh hari untuk menjadi perpanjangan tangan pemerintah di daerah, sehingga kepala daerah Plt. akan bekerja tegak lurus pada sumber kekuasaan dan dapat berdampak pada politisasi PNS atau ASN. Penulis meragukan kepala daerah Plt. bisa bersikap netral.
Pengalaman dalam pilkada Kota Makassar yang lalu, pejabat Plt. sempat digonta-ganti dalam kurung waktu hanya satu bulan, indikasinya ditengarai akibat adanya campur tangan partai pengusung demi memenangkan calon tertentu. Tentu dalam politik tidak ada yang gratis, harus saling menguntungkan. Maka bukan tidak mungkin Plt. Kepala Daerah akan bekerja untuk agenda kepentingan Pilpres 2024. Untuk itu, demi pelaksanaan pilkada yang logis, jujur, adil dan demokratis, semestinya pilkada serentak nasional tidak dilaksanakan pada tahun 2024, guna menghindari kekacauan dan kegaduhan dalam sistem pilkada kita. Desain pilkada serentak nasional pada 2027 jauh lebih ideal dan sejalan dengan konstruksi ketatanegaraan kita.
Daerah-daerah yang akhir masa jabatan kepala pemerintahannya pada 2022 dan 2023 tetap diselenggarakan pilkada pada 2022 dan 2023. Untuk daerah yang melaksanakan pilkada pada 2020, kepala daerah terpilih tetap menjabat selama lima tahun sampai akhir masa jabatannya. Dengan demikian, penjabat Plt. pun tidak terlalu lama mengisi posisi yang mestinya dipegang oleh kepala daerah definitif hasil pemilihan langsung oleh rakyat.