oleh Heroik M. Pratama
Menjelang pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) serentak, Mentri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo melihat adanya gejala peningkatan anggaran untuk bantuan sosial (bansos) di sejumlah daerah yang akan menggelar Pilkada (Kompas 23/4/2015). Namun demikian detail daerah-daerah yang meningkatkan anggaran ini masih belum didata lebih jauh oleh kemendagri.
Pemanfaatan dana publik dalam Pilkada serentak memang bukanlah hal baru. Pada Pilkada sebelumnya tidak sedikit petahana berusaha memanfaatkan sumber daya yang ia miliki sebagai pemegang kuasa anggaran daerah untuk mendistribusikan program sosial dan kesejahteraan dalam wujud barang, uang, dan infrastruktur dalam rangka mempengaruhi preferensi politik masyarakat. Dengan kata lain, pemanfaatan dana publik oleh kepala daerah aktif merupakan sebuah usaha untuk kembali membuka peluang dukungan politik dari pemilih.
Politik uang
Meski demikian, pemanfaatan bansos menjelang pilkada oleh petahana merupakan suatu hal yang dilarang. Secara tegas pasal 71 ayat 2, UU 8/2015 tentang Pilkada menjelaskan “Petahana dilarang menggunakan program dan kegiatan pemerintahan daerah untuk kegiatan pemilihan 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir”. Latar belakang utama pelarangan ini ialah pemanfaatan program bansos oleh petahana merupakan salah satu wujud dari politik uang.
Pemaknaan politik uang sering kali hanya dibatasi pada istilah serangan fajar, dimana seorang kandidat memberikan uang kepada pemilih di pagi hari menjelang pemungutan suara dalam bentuk fresh money. Padahal, dalam studi ilmu politik serangan fajar atau vote buying hanya salah satu jenis dari dua jenis politik uang lainnya yakni club goods dan pork barrel. Club goods merupakan pemberian uang atau barang dari seorang kandidat kepada kelompok sosial masyarakat seperti pemberian kerudung kepada kelompok pengajian, atau pemberian fasilitas olahraga kepada karang taruna.
Sedangkan pemberian bansos menjalang pemilu termasuk jenis politik uang pork barrel atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan politik gentong babi. Secara spesifik, Scaffer (2007) dalam studinya mendefinisikan pork barrel sebagai bentuk penyaluran bantuan materi dalam bentuk kontrak, hibah, bansos, atau proyek pekerjaan umum ke Kabupataen/Kota bahkan desa dari kepala daerah. Karakter utama dari politik gentong babi ialah, adanya pemanfaatan uang yang berasal dari dana publik, atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Meski bansos bukan berasal dari kantong pribadi kandidat, serta proses yang dilakukan melalui cara legal sesuai prosedur keuangan daerah. Peningkatan anggaran untuk program kesejahteraan menjelang pilkada, secara tidak langsung menempatkan bansos sebagai nilai tukar dengan suara pemilih. Hal ini karena dalam proses pendistribusiannya seorang petahana melakukan klaim politik dengan maksud kembali meningkatkan kepercayaan publik terhadap dirinya. Melalui cara yang seolah-olah bansos tersebut berasal dari kantong pribadi atau sebagai sebuah capaian personal petahana. Padahal sumber dana tersebut berasal dari pajak masyarakat.\
Sehingga di tengah situasi seperti ini, seorang pemilih lebih memaknai bansos sebagai hutang atas kebiakan petahana yang harus dibayar dengan cara memberikan suara di hari pemungutan suara. Bahkan terdapat pula sebagian pemilih yang beranggapan ketika petahana terpilih kembali, dirinya akan memperoleh bansos yang jauh lebih besar. Dari sinilah kemudian relasi klientelisme terbangun antara patahana dengan pemilih.
Implikasi
Dengan adanya praktek politik gentong babi seperti ini, tentunya berdampak secara langsung terhadap proses dan kualitas pilkada serentak di Indonesia. Adapun implikasi tersebut antara lain: Pertama, kehadiran bansos menjelang pilkada mampu merusak perilaku pemilih rasional yang lebih mempertimbangkan untung dan rugi dari aspek materi. Padahal sejatinya pertimbangan untung dan rugi dari perilaku pemilih rasional lebih mengarah pada aspek rekam jejak, kapabilitas, integritas, kebijakan publik yang dihasilkan semenjak awal menjabat sampai dengan akhir. Sehingga terjadi mekanisme reward and punishment yakni penghargaan diberikan dengan cara dipilih kembali jika seorang petahana dianggap mampu menghasilkan aspek-aspek tersebut. Sedangkan hukuman diberikan dengan cara tidak dipilih kembali, karena dianggap tidak mampu menghasilkan kebijakan publik yang bermanfaat bagi daerahnya. Bukan berdasarkan program bansos yang sebetulnya tidak lebih dari sebuah rekayasa politik untuk memobilisasi suara masyarakat.
Kedua, adanya pemanfaatan bansos dalam pilkada mampu membuat proses persaingan antara kandidat menjadi tidak setara. Dengan adanya pemanfaatan sumber daya negara, seorang kandidat petahana akan lebih mendominasi persaingan dibandingkan dengan kandidat lainnya. Padahal semangat yang dibawa dari adanya empat aspek kampanye yang difasilitasi negara sesuai dengan pasal 65 ayat 2, UU/8/2015 yakni: penyebaran bahan kampanye, pemasangan alat peraga, dan iklan di media massa cetak dan elektronik, ialah untuk menghadirkan kesetaraan persaingan antar calon kepala daerah dalam kampanye. Di samping itu, adanya biaya kampanye yang diafisilitasi oleh negara memiliki tujuan untuk menekan tingginya biaya kampanye kandidat dan meminimalisir praktek politik uang.
Dengan ini seharusnya petahana tidak perlu sibuk memikirkan beban biaya kampanye yang perlu dikeluarkan. Akan tetapi lebih baik seorang petahana memikirkan kritik dan masukan dari masyarakat daerahnya terhadap kepemimpinan sebelumnya, yang tentunya dapat dijadikan sebagai tawaran program dan kebijakan apa yang akan ditawarkan kepada pemilih.