PENYELESAIAN TUGAS 1 :
1. Andi seorang petualang yang tersesat di suatu daerah
terpencil, tidak ada satu orang pun yang tinggal dan hidup disana. Andi
memutuskan untuk tinggal disana. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya Andi
memanfaatkan hasil dari bumi. Andi juga membangun tempat tinggal sendiri dari
bahan-bahan yang tersedia di alam. Andi bebas melakukan apapun disana. Suatu
hari daerah yang ditinggali Andi kedatangan serombongan petualang yang tersesat
dan tidak bisa kembali ke tempat asalnya. Rombongan petualang tersebut
memutuskan untuk menetap hidup disana berdampingan bersama Andi.
a. Seorang Filsuf Yunani, Aristoteles menyatakan bahwa
manusia itu merupakan zoon politicon jelaskan dan kaitkan dengan kisah di atas!
~ Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat Yunani kuno
menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa
manusia itu sebagai makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam
masyarakat. Karena sifatnya ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut
sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang senantiasa
hidup dengan manusia lain (masyarakatnya). Ia tidak dapat merealisasikan
potensi hanya dengan dirinya sendiri. Manusia akan membutuhkan manusia lain
untuk hal tersebut, termasuk dalam mencukupi kebutuhannya.
Adanya hal tersebut mendorong sebuah proses terjadinya
interaksi sosial, yang mana manusia tidak dapat melakukannya sendiri sehingga
manusia membutuhkan manusia yang lain untuk hidup saling membutuhkan.
Berkaitan dengan kisah diatas sebelum adanya kedatangan
rombongan yang pada akhirnya hidup bersama dengannya kehidupan Andi yang
seorang diri di hutan belum bisa dikatakan dirinya sebagai makhluk sosial,
karena kehidupan sosial atau interaksi sosial baru bisa tercipta minimal ada
keberadaan dua orang manusia. Tetapi, setelah kedatangan rombongan yang
tersesat dihutan yang kemudian memutuskan ikut menetap bersama dengan Andi maka
dengan sendirinya kehidupan Andi berubah dari sebagai seorang individulistis
menjadi harus bersosialisasi dengan rombongan baru yang hidup bersamanya.
b. Berikan pendapat saudara mengenai hubungan antara manusia,
masyarakat dan hukum.
~ Ketiga hal tersebut memiliki hubungan satu sama lain, bagaimana
saling mempengaruhi antara ketiga unsur ini akan dibahas :
1. Manusia Sebagai Makhluk Sosial.
Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial. Sudah menjadi
kodrat manusia untuk hidup bersama, bahkan semenjak peradaban pertama
manusia itu ada. Didorong oleh naluri
bertahan hidup, manusia beradaptasi den belajar dari keadaan yang ada, dimana
untuk dapat terus mempertahankan eksistensi ataupun bahkan meningkatkan
kualitas hidup, manusia tidak dapat hidup seorang diri. Contohnya saja seorang
petani, tentunya tidak memiliki kemampuan untuk menangkap ikan. untuk dapat
menikmati ikan, seorang petani membutuhkan bantuan seorang nelayan. Demikian
juga manusia yang pada dasarnya memerlukan bantuan orang lain untuk dapat hidup
serta meningkatkan taraf hidupnya. Bakan di era modern sekarang ini, taraf
kehidupan manusia sudah lebih kompleks, menimbulkan begitu banyak kebutuhan
yang harus dipenuhi, memerlukan berbagai macam keahlian.
Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon
yaitu dalam bahasa Yunani zoon berarti makhluk, sedangkan politicon berarti
hidup dalam polis (atau di zaman dahulu semacam kota/negara kota). Sementara
Hans Kelsen mengartikan zoon politicon sebagai man is a social and political
being.
2. Perlindungan Kepentingan Manusia
Menurut pandangan Roscoe Pound, di dalam diri manusia
terdapat berbagai kepentingan, yang dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian.
Yaitu:
Kepentingan Umum (public interest). Sering disebut juga
sebagai kepentingan yang utama, biasanya menyangkut kepentingan negara dalam
menjalankan fungsinya
Kepentingan Masyarakat (social interest). Berhubungan dengan
kepentingan masyarakat luas. misalnya kepentingan terhadap keselamatan umum,
jaminan terhadap masyarakat, kepentingan kesusilaan/moral, dan sebagainya
Kepentingan Pribadi (private interest). Kepentingan pribadi
dibagi atas 3 yakni kepentingan bagi diri sendiri, kepentingan terhadap
hubungan, serta kepentingan yang meliputi harta benda.
3. Alasan Keberadaan
Hukum
Mengapa hukum itu ada ? "ubi societas ibu ius"
Sebuah ungkapan dari Cicero yang bermakna "dimana ada masyarakat, disitu
ada hukum". Seperti yang kita pelajari sebelumnya bahwa manusia pada
dasarnya adalah makhluk sosial, yang mana manusia tidak dapat hidup seorang
diri saja. Dalam pergaulan bersama manusia tersebut timbul suatu yang dinamakan
masyarakat. Jika sudah terbentuk masyarakat (yang mana manusia tidak lagi
seorang diri saja), sudah terdapat hak dan kewajiban di dalamnya sehingga perlu
diatur oleh hukum.
Hukum ada untuk menjamin keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat. Didalam masyarakat terdapat norma-norma yang mengatur, yaitu norma
agama, norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma hukum. ketiga norma di luar
hukum tidak dapat memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Diperlukan norma hukum yang lebih tegas mengatur pergaulan hidup masyarakat
agar kehidupan masyarakat dapat menjadi tertib dan teratur.
2. Masyarakat
Indonesia harus bijak dalam menggunakan dan memanfaatkan media sosial jika
tidak ingin terjerat tindak pidana yang diancam menurut UU ITE. Berdasarkan
data dari id.safenet.or.id sejak disahkannya UU ITE hingga sekarang tahun 2021
sudah ada sekitar 300 lebih kasus terkait dugaan pelanggaran UU ITE.
Pelanggaran ITE tersebut didominasi kasus pencemaran nama baik, penghinaan
hingga ujaran kebencian.
Pertanyaan:
Analisis oleh saudara tujuan hukum yang didasarkan oleh teori
utilitas menurut Jeremy Bentham dikaitkan dengan kasus pelanggaran UU ITE.
~ Dalam teori utilities (utilities theorie), hukum bertujuan
mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja. Hukum bertujuan menjamin adanya
kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Teori ini
diajarkan oleh Jeremy Bentham (tahun 1748-1832) seorang ahli hukum dari Inggris
dalam bukunya “Introduction to the morals an legislation”. Bentham merupakan
pemimpin aliran pemikiran “kemanfaatan”.
Menurut Bentham hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan
kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Karenanya maksud manusia melakukan
tindakan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan
mengurangi penderitaan.
Teori ini secara analogis diterapkan pada bidang hukum,
sehingga baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang
dihasilkan oleh penerapan hukum itu.
Dikaitkan dengan kasus pelanggaran UU ITE sebaiknya teori
utilitas menurut Jeremy Bentham ini perlu dipertimbangkan dalam penerapan
Pasal-pasal pidana dalam UU ITE. Setelah berlakunya UU ITE, puluhan orang harus
berhadapan dengan hukum, karena dituduh telah melakukan tindak pidana
pencemaran nama baik dengan menggunakan saran elektronik. Tidak sedikit pula
diantara mereka harus mencicipi dinginnya dinding tahanan, akibat tingginya
ancaman hukuman, yang memungkinkan bagi penyidik untuk langsung melakukan
penahanan.
Temuan lain yang mengejutkan ialah kecenderungan untuk
menggunakan Pasal 27 (3) UU ITE sebagai alat untuk membalas dendam, karena
mudahnya menahan seseorang dengan bersandar pada ketentuan ini. Apalagi
sejumlah kasus memperlihatkan relasi kuasa yang timpang antara pelapor dengan
orang yang dilaporkan. Para pelapor pada umumnya adalah mereka yang memiliki
kekuatan politik (kepala daerah, birokrat), ekonomi (pengusaha), atau memiliki
pengaruh sosial yang kuat. Sementara mereka yang dilaporkan mayoritas berasal
dari kalangan lemah (power less), sehingga kesulitan untuk mendapatkan akses
keadilan secara memadai.
3. Dalam hidup bermasyarakat tentu dibutuhkan suatu tatanan
atau kaidah atau norma yang bertugas mengatur setiap sendi kehidupan. Norma
atau kaidah itu tidak akan timbul dengan sendirinya namun terbentuk dari
interaksi-interaksi sosial antar individu dalam masyarakat. Ada norma yang sifatnya
tidak mengikat dan hanya memiliki sanksi sosial seperti norma agama, norma
kesusilaan dan norma kesopanan dan ada pula norma yang sifatnya mengikat dan
memiliki sanksi tegas seperti norma hukum.
Pertanyaan:
Analisis oleh saudara teori piramida hukum (stufentheorie)
dari Hans Kelsen dan berikan contoh konkretnya dalam norma hukum di Indonesia.
~
Teori Stufenbau (stufenbautheorie)
yang digagas oleh Hans Kelsen mengibaratkan bahwa sistem hukum memiliki sifat berjenjang
dan berlapis-lapis. Adapun, Maria Farida Indarti menggambarkan Teori Stufenbau
seperti di bawah ini:
Gambar 1 – Teori Stufenbau
Gambar tersebut memberikan arti bahwa norma hukum (norm)
yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada norma hukum di atasnya (norm)
dan norma hukum yang lebih tinggi (norm) tersebut harus berpegang pada
norma hukum yang paling mendasar. Norma hukum yang paling mendasar inilah yang
disebut sebagai Grundnorm/Basic Norm oleh Hans Kelsen.
Norma hukum yang paling mendasar tersebut berupa konstitusi, tetapi konstitusi
dimaksud adalah dalam pengertian materiel, bukan konstitusi formil sebagaimana
dikemukakan Hans Kelsen dan dikutip oleh Muhtadi.[2]
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011)
mengatur bahwa: “Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah;
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
Dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan di
Indonesia, wujud Grundnorm/Basic Norm yang merupakan
dasar dan hukum tertinggi adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Sebab, di dalamnya terdapat cita hukum (rechtsidee)
yang menjadikan negara Indonesia didirikan sekaligus merupakan norma hukum yang
menjadi tolak ukur validitas bagi materi muatan (materiel) peraturan
perundang-undangan apabila dilakukan yudisial review melalui lembaga yang
berwenang. Sementara itu, norma hukum seperti Undang-Undang maupun
Peraturan Pemerintah merupakan norm (vide Gambar 1) yang
berada di bawah Grundnorm/Basic Norm. Dengan demikian, norma
hukum yang dimaksud bersumber dan berdasar pada UUD NRI 1945.
Sebagai contoh penerapan Teori Stufenbau dapat dilihat
dari Pasal 73 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 yang pada pokoknya mengatur bahwa
dalam hal Rancangan Undang-Undang (RUU) tidak ditandatangani oleh Presiden
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak RUU disetujui bersama, maka
RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan. Di mana,
ketentuan tersebut mengatur materi muatan yang sama dengan Pasal 20 ayat (5)
UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: “Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak RUU
tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan”. Ditambah lagi, pada Dasar Hukum Mengingat UU No. 12 Tahun 2011
juga mengacu pada UUD NRI Tahun 1945. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa UU No. 12 Tahun 2011 bersumber dan berdasar pada UUD
NRI Tahun 1945, salah satunya adalah Pasal 73 ayat (2) No. 12 Tahun 2011 yang
mengacu pada Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
Contoh penerapan lain dari Teori Stufenbau juga dapat dilihat dari Pasal 6 ayat
(2) KUHAP yang mengatur bahwa syarat kepangkatan Penyidik diatur lebih lanjut
dalam peraturan pemerintah. Kemudian, Pasal 2A Peraturan Pemerintah Nomor 58
Tahun 2010 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (PP No. 58 Tahun
2010) mengatur mengenai syarat kepangkatan Penyidik sebagaimana diperintahkan
oleh Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Dengan demikian, dapat dikatakan PP No. 58 Tahun
2010 sebagai peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang bersumber dan
berdasar pada KUHAP sebagai peraturan perundang-undangan di atasnya.