3. Sistematika Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Prof. Mahadi
Mendukung gagasan tersebut tetapi tidak secara utuh, karena beliau berpendapat pasal-pasal KUHPerdata tidak berlaku sebagai kitab UU dalam satu ikatan kodifikasi, tetapi apabila berdiri sendiri-sendiri tidak terikat dalam satu sistem kofifikasi pasal-pasal tersenut tetap sebagai UU.
3. Dr. Mathilda Sumampouw, SH.
Tidak sependapat dengan Dr. Saharjo dan Prof. Mahadi karena beliau
tetap menghendaki adanya kepastian hukum apabila KUHPerdata dianggap sebagai
kumpulan hukum kebiasaan maka akan terdapat kekosongan hukum yang akan
menimbulkan ketidakpastian hukum.
4. Prof. Soebekti
Beranggapan Surat Edaran MA No. 3 Tahun 1863 tidak mempunyai
kekuasaan hukum untuk mencabut pasal-pasal KUHPerdata, adalah merupakan
kewenangan hakim untuk menafsirkan dan kemudian memutuskan apakah ketentuan
Pasal 2 KUHPerdata yang dicabut oleh surat edaran tersebut masih tetap berlaku
atau tidak, sehingga yurisprudensial yang akan mengesampingkan pasal-pasal
KUHPerdata tersebut.
MODUL 2 :
Subjek hukum adalah pengemban hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Dengan demikian, yang dapat memiliki hak dan dibebani dengan kewajiban adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum dapat berupa orang atau manusia itu sendiri atau badan hukum yang memiliki harta kekayaan terpisah dari pengurusnya.
Kedudukan manusia sebagai Subjek Hukum muncul sejak dilahirkan dan berakhir ketika meninggal dunia. Namun demikian tidak setiap manusia yang dilahirkan memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum.
Hanya mereka
yang telah dewasa saja dan tidak berada dibawah pengampuan saja yang berhak
melakukan perbuatan hukum misalnya menikah, membuat warisan, melakukan jual
beli, dan lain-lain. Sedangkan mereka yang belum dewasa atau berada dibawah
pengampuan harus diwakili oleh orang tua, wali, atau pengampunya dalam melakukan
perbuatan hukum.
Mereka yang belum dewasa diwakili oleh orang tuanya dalam melakukan
perbuatan hukum, jika orangtuanya masih hidup. Jika orang tua sudah meninggal
dunia maka orang yang belum dewasa diwakili oleh walinya.Sedangkan mereka yang
telah dewasa, tetapi tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri disebabkan
boros, sakit ingatan atau lemah ingatan maka diwakili oleh pengampunya dalam
melakukan tindakan hukum.
Hukum perorangan dalam arti sempit hanya meliputi ketentuan orang sebagai subjek hukum saja, sedangkan dalam arti luas meliputi ketentuan-ketentuan mengenai orang sebagai subjek hukum dan keluarga. Subjek Hukum adalah pengemban hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum, subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum.
Lahirnya manusia sebagai subjek hukum adalah saat dia dilahirkan dan berakhir pada saat dia meninggal dunia. Terhadap ketentuan tersebut terdapat pengecualian, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 KUHPerdata yang mengatur mengenai seorang bayi dalam kandungan dianggap sebagai subjek hukum dengan syarat ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan hidup.
Manusia sebagai subjek hukum mempunyai wewenang hukum, tetapi tidak semua subjek hukum mempunyai wewenang bertindak, hal tersebut didasarkan pada syarat kecakapan untuk bertindak dalam melakukan perbuatan hukum. Selain manusia sebagai subjek hukum, juga dikenal adanya badan hukum. Badan hukum dapat melakukan perbuatan hukum atas nama badan hukum tersebut termasuk dituntut dan menuntut di muka hukum melalui perantara pengurusnya, misalnya melalui direksi pada perseroan terbatas.
1. Kekayaan sendiri
2. Tujuan tertentu
3. Kepentingan sendiri
4. Organisasi teratur
B. KEWENANGAN DAN KECAKAPAN BERTINDAK
Orang-orang yang tidak mempunyai kewenangan bertindak untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan Pasal 1330 KUHPerdata adalah mereka :
Dalam UU No 1 Tahun 1974 tidak dijumpai satu ketentuan pasal pun yang mengatur mengenai kapan seseorang dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum, tetapi melalui ketentuan Pasal 47 dan 50 UU tersebut menyatakan bahwa anak yang berusia belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah berada dibawah kekuasaan orang tua atau berada dibawah kekuasaan wali.
Maka ditafsirkan menurut UU No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan anak yang sudah berusia 17 tahun atau lebih dan tidak
dibawah kekuasaan orang tua atau perwalian dapat ditafsirkan sudah dewasa dan
dapat melakukan semua perbuatan hukum.
Mengenai keadaan dewasa ternyata UU memberikan
kemungkinan bahwa orang yang belum dewasa dan telah memenuhi syarat-syarat
tertentu dapat dismakan dengan orang yang sudah dewasa, tindakan hukum ini
dikenal dengan pendewasaan (handlichting)
Pendewasaan adalah suatu lembaga hukum agar orang yang belum dewasa, tetapi telah memenuhi syarat tertentu dapat memiliki kedudukan sama dengan orang dewasa. Ada dua macam pendewasaan yaitu sebagai berikut :
2. Pendewasaan Terbatas; dapat diajukan oleh mereka yang berusia 18 tahun permohonannya diajukan kepada ketua pengadilan negeri untuk kemudian yang bersangkutan dapat melakukan perbuatan hukum tertentu.
KUHPerdata mengatur pula mengenai orang yang sudah
dewasa, tetapi tidak cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum karena
alasan-alasan tertentu, alasan yang dimaksud adalah lemah akal (idiot), dan
hilang ingatan (gila). Lembaga ini disebut sebagai Pengampuan (curatelle)
Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan kedaan belum dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai 21 tahun. Dengan demikian, akan diberikan kedudukan hukum yang terbatas atau penuh terhadap orang-orang yang belum dewasa tersebut.
Presiden akan memberikan keputusannya setelah mendengar nasihat dari mahkamah agung yang untuk itu mendengar orang tua anak tersebut dan anggota keluarga lainnya yang dianggap perlu.
Apabila permohonan diluluskan maka si pemohon tersebut akan memperoleh kedudukan yang sama dengan seorang yang sudah dewasa. Hanya dalam soal perkawinan terhadap orang tersebut masih berlaku Pasal 35 dan Pasal 37 KUHPerdata mengenai pemberian izin untuk melakukan perkawinan.
Pada masa sekarang ini ketentuan lembaga pendewasaan tersebut tidak lagi relevan karena dalam ketentuan UU No 1 Tentang Perkawinan Pasal 47 Ayat 1 dan Pasal 50 Ayat 2 menentukan bahwa seorang yang sudah berusia 18 tahun tidak lagi berada dibawah kekuasaan orang tua atau perwalian. Hal ini ditafsirkan bahwa yang bersangkutan sudah dewasa.
B. PENGAMPUAN
Orang yang sudah dewasa yang menderita sakit ingatan menurut UU harus ditaruh dibawah pengampuan atau curatele. Begitu pun seorang yang terindikasi mengobralkan kekayaannya atau lemah akal, ketiga hal tersebut yang menjadi alasan seseorang harus ditaruh di bawah suatu pengampuan.
Dalam hal alasannya adalah sakit ingatan maka permintaan pengampuan dapat dilakukan oleh setiap anggota keluarga. Sedangkan apabila alasannya adalah mengobralkan kekayaan (boros) maka permintaan hanya dapat dilakukan oleh anggota keluarga yang sangat dekat.
Sementara apabila alasannya adalah lemah ingatan atau kurang cerdas sehingga tidak mampu untuk mengurus kepentingannya sendiri yang bersangkutan dapat mengajukannya sendiri untuk ditaruh dibawah pengampuan.
Jika alasannya adalah gila atau sakit ingatan yang akan membahayakan masyarakat umum permintaannya dilakukan oleh jaksa.
Permohonan untuk menaruh seseorang dibawah pengampuan harus diajukan kepada pengadilan negeri dengan menjelaskan peristiwa-peristiwa yang menguatkan adanya persangkaan tentang adanya alasan-alasan untuk menaruh orang tersebut di bawah pengawasan, dengan bukti-bukti dan saksi-saksi yang dapat diperiksa oleh hakim.
Pengadilan akan mendengar saksi-saksi itu, begitu pula anggota keluarga dari orang yang diminta pengampuannya. Akhirnya, orang itu sendiri akan diperiksa jika dianggap perlu hakim berwenang untuk mengangkat seorang pengawas untuk mengurus kepentingan orang tersebut.
Putusan Pengadilan yang menyatakan orang tersebut
dibawah pengampuan harus diumumkan dalam berita Negara. Kedudukan seseorang
yang telah ditaruh dibawah pengampuan sama dengan seorang yang belum dewasa,
dia tidak dapat melakukan perbuatan hukum apapun.
MODUL
3 :
HUKUM ORANG / PRIBADI LANJUTAN
" Subjek Hukum tidak hanya Manusia tetapi dikenal pula Badan Hukum "
Badan Hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Yayasan merupakan Subjek Hukum Mandiri sebagai pengemban Hak dan Kewajiban , serta dapat dituntut dan menuntut di hadapan pengadilan melalui perantaraan pengurusnya. Badan Hukum memiliki harta kekayaan yang terpisah dari pengurusnya, sehingga tanggung jawab badan hukum terbatas pada harta kekayaan yang dimiliki oleh badan hukum tersebut.
Disamping badan hukum, dalam kaitannya dengan hukum orang atau hukum pribadi, penting untuk dipahami mengenai domisili, catatan sipil dan keadaan tidak hadir.
Domisili seseorang atau badan hukum menentukan di mana tempat dan kedudukan seseorang atau badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum tertentu termasuk menentukan wilayah pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa apabila terjadi perselisihan hukum.
Sedangkan
Catatan Sipil penting dalam kaitannya dengan status hukum seseorang,
misalnya status anak yang dilahirkan, status perkawinan dan lain lain.
Selain
permasalahan badan hukum, domisili dan catatan sipil, penting juga untuk
dipahami pengaturan tentang keadaan tak hadir. Hal ini penting khususnya
untuk menentukan bagaimana kelanjutan tentang hak dan kewajiban seseorang,
apabila seseorang tidak diketahui keberadaannya perlu diatur mengenai kapan
hak-haknya dapat beralih kepada ahli waris dan siapa pihak yang seharusnya
bertanggung jawab tentang kewajiban-kewajiban orang tersebut.
KEGIATAN
BELAJAR 1 :
BADAN HUKUM DAN DOMISILI
A.
BADAN HUKUM
Sebagaimana
halnya Subjek Hukum Manusia, Badan Hukum pun dapat mempunyai hak-hak dan
kewajiban serta dapat pula melakukan hubungan-hubungan hukum, baik antar badan
hukum maupun antar badan hukum dengan orang/manusia. Dengan demikian, badan
hukum ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa sebagai lawan
pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa (manusia).
Pembentukan
suatu badan hukum dikaitkan dengan tujuannya ada dua macam; Pertama adalah badan hukum yang
sengaja dibentuk dan didirikan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan guna mengejar tujuan negara yang bersifat ideal, misalnya
badan atau organ pemerintah. Kedua adalah badan hukum yang didirikan
oleh perseorangan, baik Warga Negara indonesia (WNI) maupun Warga Negara Asing
(WNA) yang mendapat pengakuan dari pemerintah guna mengejar kepentingan yang
bersifat ekonomi atau ideal.
Prosedur
pendirian badan hukum ini didasarkan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Untuk PT misalnya berdasarkan UU No
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, untuk Koperasi berdasarkan
UU No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, dan Yayasan berdasarkan
UU No 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
B.
DOMISILI
Domisili adalah tempat dimana seseorang dalaim kaitannya dengan pelaksanaan hak-hak dan pemenuhan kewajiban-kewajibannya setiap waktu dapat dicapai sekalipun dalam kenyataannya orang tersebut tinggal di tempat lain. Jadi, yang dimaksud dengan domisili adalah tempat dimana seseorang oleh hukum dianggap selalu hadir. Domisili ini diperlukan demi kepastian hukum.
Domisili
dibutuhkan untuk menentukan perbuatan hukum yang akan dilakukan, misalnya calon suami isteri yang akan
melangsungkan perkawinan harus menentukan domisili tempat dimana dilangsungkan
perkawinan. Dalam menentukan pengajuan gugatan dibutuhkan adanya domisili untuk
memastikan kompetensi relatif pengadilan mana yang berwenang mengadili perkara
tersebut.
Berikut
ini dua macam domisili :
1. Domisili
yang sesungguhnya; yaitu dimana seseorang atau badan hukum melakukan
kewenangan perdata pada umumnya. Domisili sesungguhnya dibedakan atas domisili
wajib dan domisili sukarela. Domisili Wajib maksudnya adalah adalah
domisili yang sesungguhnya dari seseorang atau domisili yang ditentukan oleh
jabatan. Misalnya, presiden wajib tinggal di istana kepresidenan. Domisili
sukarela adalah bergantung kepada kehendak yang bersangkutan untuk
berdomisili.
2. Domisili Pilihan; adalah domisili yang dipilih oleh yang bersangkutan untuk menentukan perbuatan hukum tertentu. Misalnya, Pada Pasal 11 Ayat 1b UU NO 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang mensyaratkan bagi mereka yang tinggal di luar negeri dalam hal akan melakukan perjanjian jaminan hak tanggungan mereka harus mencantumkan domisili pilihannya di Indonesia. Jika hal itu tidak dicantumkan maka kantor PPAT di mana pembebanan hak tanggungan dibuat dianggap sebagai domisili yang dipilih.
Rumah Kematian dianggap terletak pada domisili yang terakhir. Hal ini berkaitan dengan penentuan penetapan warisan dan penuntutan hak-hak para ahli waris dalam menentukan di pengadilan mana hal tersebut dapat diajukan.
KEGIATAN BELAJAR 2 :
CATATAN SIPIL DAN KEADAAN TIDAK HADIR
A. CATATAN SIPIL
Manusia sejak lahir sampai meninggal mengalami peristiwa-peristiwa yang secara hukum memiliki arti penting. Oleh karena peristiwa tersebut memiliki akibat hukum berkaitan dengan statusnya sebagai subjek hukum.
Peristiwa yang diamaksud adalah kelahiran,
kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan
anak, perubahan nama, dan perubahan status kewarganegaraan.
Peristiwa-peristiwa tersebut penting untuk dicatat berkaitan dengan status
hukum seorang untuk menjamin adanya kepastian hukum.
Peristiwa kelahiran perlu dicatat untuk menjamin status seorang anak sebagai anak yang sah dari kedua orang tuanya. Sementara untuk perkawinan pencatatan perkawinan akan membawa akibat hukum yang berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai suami isteri terhadap harta dan terhadap anak yang dilahirkan. Perceraian juga perlu dicatatkan untuk menentukan status dari pasangan itu dalam hal akan menikah lagi. Sedangkan kematian perlu dicatatkan karena berkaitan dnegan peralihan hak dan kewajiban orang yang meninggal kepada ahli warganya.
Lembaga yang bertugas untuk mencatatkan peristiwa hukum tersebut dan memberikan salinannya pada yang bersangkutan adalah catatan sipil (bugerlijk stand). Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya lembaga catatan sipil secara struktural berada dibawah tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri. Untuk memudahkan masyarakat dalam mencatatkan peristiwa hukum yang dialaminya maka kantor catatan sipil terebar pada setiap kabupaten dan kotamadya.
Khusus untuk mereka yang beragama Islam maka pencatatan nikah talak rujuk berada di kantor catatan sipil di bawah Kementerian Agama. Sebelum diundangkannya UU No. 3 Tahun 2006 lembaga catatan sipil menggunakan ketentuan yang berlaku pada zaman Kolonial Belanda yang menganut sistem diskriminasi dengan adanya penggolongan penduduk dan penggolongan hukum sehingga terdapat beberapa ketentuan catatan sipil yang berbeda yang berlaku pada masing-masing golongan penduduk. Misalnya, Staat Blad 1849 No. 25 yang berlaku bagi golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan golongan tersebut Staat Blad No. 130 berlaku bagi keturunan Tionghoa.
Dengan dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/66 yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman dan Kantor Catatan Sipil di sleuruh Indonesia untuk tidak menggolongksn penduduk Indonesia berdasarkan Pasal 131 IS. Hal tersebut dipertegas dengan Instruksi Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri No. 51/I/3/J.A:2/2/5 tanggal 28 Januari 1967 yang isinya menghilangkan adanya penggolongan penduduk tersebut.
Berdasarkan hal tersebut maka pengaturan catatan sipil yang berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia baik WNI maupun WNA dengan diundangkannya UU No. 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan maka semua ketentuan lama tidak berlaku lagi. Dengan demikian hapuslah sudah diskriminasi dan penggolongan penduduk sebagaimana diatur dalam ketentuan yang lama. Pengecualian khusus bagi penduduk yang beragama Islam, pencatatan nikah talak rujuk diatur oleh UU No. 23 Tahun 1954 di mana lembaga pencatatanya berada di bawah tanggung jawab Kementerian Agama dalam hal ini dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama.
B. KEADAAN TIDAK HADIR
Jika seseorang meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak memberikan kuasa kepada orang lain untuk mengurus kepentingannya maka kepentingan-kepentingan tersebut harus diwakili oleh orang yang berkepentingan. Dalam hal ini hakim untuk sementara dapat memerintahkan balai harta peninggalan untuk mengurus kepentingan-kepentingan orang yang pergi tersebut. Jika kekayaannya tidak terlalu besar maka hakim dapat menunjuk anggota keluarganya. Balai harta peninggalan berkewajiban untuk menyegel harta kekayaannya dan membuat catatan menurut peraturan yang berlaku bagi pengurusan harta benda seorang anak di bawah umur.
Mengenai pengaturan keadaan memaksa ini dapt dilihat pada Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, yang pada intinya mengatur hal yang sama. Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan :
“ Jika ada lasan untuk itu, si
berhutang harus dihukum membayar biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak
membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakannya perjanjian itu disebabkan karena
suatu hal yang tak terduga, pun tak dapt dipertanggungjawabkan padanya,
kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidak ada padanya “.
Selanjutnya Pasal 1245 menyebutkan hal yang intinya sama sebagai berikut :
“ Tidaklah biaya, rugi dan
bunga harus digantinya, apabila karena keadaan memaksa atau karena suatu
kejadian yang tak disengaja, si berutang berhalangan memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau karena hal-hal yang sama telah melakukan
perbuatan terlarang “.
C. HAPUSNYA PERIKATAN
Terdapat se[uluh hal yang menyebabkan hapusnya perikatan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1381 KUH Perdata. Sepuluh hal yang menyebabkan hapusnya perikatan adalah sebagai berikut :
1. Pembayaran
Pembayaran adalah pelaksanaan prestasi secara sukarela, artinya tidak melalui eksekusi oleh pengadilan. Kata pembayaran di sini adalah pembayaran dalam arti luas bukan hanya pembayaran sejumlah uang tetapi juga pelaksanaan prestasi yang berupa penyerahan suatu barang atau pelaksanaan suatu pekerjaan.
Dalam KUH Perdata disebutkan siapa pun boleh melakukan pembayaran kepada kreditur dan si kreditur harus menerimanya. Jika pembayaran dilakukan oleh debitur sendiri atau oleh orang lain yang bertindak untuk dan atas nama debitur maka pembayaran mengakibatkan hapusnya perikatan. Untuk perjanjian-perjanjian yang prestasinya bersifat pribadi, memang tidak dapat dilakukan oleh lain, misalnya seorang bintang film atau pelukis yang terkenal yang reputasinya dan kemampuannya tidak dapat diganti pihak lain.
Pada prinsipnya, pembayaran harus diberikan kepada kreditur atau kepada kuasanya. Akan tetapi, menurut Pasal 1386 KUH Perdata, pembayaran yang secara jujur dilakukan kepada seseorang yang memegang surat tanda penagihan adalah sah. Misalnya suatu Bank membayar kepada seseorang yang memegang sebuah cek yang tidak tertulis kepada siapa pembayaran harus diberikan.
2. Pembayaran Diikuti dengan
Penitipan
Jika si kreditur tidak bersedia menerima pembayaran dari debitur, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran yang kemudian diikuti dengan penitipan. Penawaran harus dilakukan secara resmi oleh seorang Notaris atau Juru Sita dan penitipan dapat dilakukan di kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan diberitahukan kepada si kreditur. Jika putusan Hakim telah menyatakan bahwa penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan tersebut berharga dan mempunyai kekuatan yang pasti maka utang debitur hapus dan debitur tidak dapat menarik kembali uang atau barangnya. Penawaran pembayaran yang diikuti dengan penitipan hanya berlaku bagi perikatan untuk membayar sejumlah uang dan penyerahan barang bergerak.
3. Pembaharuan Utang
Pembaharuan hutang atau novasi terjadi jika seorang kreditur membebaskan debitur dari kewajiban membayar utang sehingga perikatan antara kreditur dan debitur hapus, akan tetapi dibuat suatu perjanjian baru antara kreditur dan debitur untuk menggantikan perikatan yang dihapuskan.
Misalnya, seorang penjual membebaskan pembeli dari kewajibannya mengangsur harga yang belum lunas, tetapi pembeli harus menandatangani perjanjian pinjaman uang yang jumlahnya sama dengan harga yang belum dibayar.
4. Kompensasi
Jika seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, tetapi pada saat yang sama orang tersebut juga berhutang kepada orang yang sama maka menurut undang-undang utang piutang mereka dapt diperhitungkan atas suatu jumlah yang sama. Menurut ketentuan Pasal 1426 KUHPerdata perhitungan itu terjadi dengan sendirinya.
5. Percampuran Utang
Percampuran utang terjadi bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang. Misalnya, si debitur menggantikan hak-hak kreditur karena menjadi ahli warisnya. Seorang kreditur menikah dengan seorang debitur dan bersepakat untuk mengadakan percampuran kekayaan.
6. Pembebasan Utang
Hal ini terjadi jika seorang debitur membebaskan seorang debitur dari segala kewajibannya. Pembebasan utang ini harus dengan persetujuan debitur.
7. Hapusnya Barang yang
Menjadi Obyek Perikatan
Berdasarkan ketentuan Pasal 1444 KUHPerdata, jika suatu barang yang menjadi obyek perjanjian musnah bukan karena kesalahan debitur dan ia tidak melakukan wanprestasi atau terjadi keadaan memaksa (overmarcht), sebelum diadakan penyerahan maka perikatan hapus konsekuensinya debitur tidak wajib menyerahkan barang dan tidak dapat dituntut ganti rugi atas musnahnya barang tersebut.
8. Batal atau Pembatalan
Seperti telah dijelaskan di muka pembatalan perjanjian dapat diputuskan oleh hukum atas permintaan orang-orang yang memberikan kesepakatan karena khilaf, paksaan atau penipua, dan permintaan wali atas perjanjian yang dibuat oleh orang yang tidak cakap yang berada dibawah perwaliannya. Demikian pula berdasarkan Woeker Ordonantie (Stb.1938:542), hakim dapat membatalkan perjanjian yang isinya berat sebelah dan ternyata salah satu pihak telah membuat kesepakatan karena bodoh, kurang pengalaman atau keadaan terpaksa, seperti kesulitan ekonomi.
9. Berlakunya Suatu Syarat Batal
Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila syarat tersebut terpebuhi maka perjanjian berakhir. Dengan berakhirnya perjanjian tersebut maka membawa akibat hukum kembali kepada keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Hal ini sebagaimana diatur pada pada Pasal 1265 KUHPerdata. Jika perjanjian batal maka prestasi yang sudah dilakukan oleh salah satu pihak harus dikembalikan sehingga kembali ke dalam keadaan semula, misalnya dalam perjanjian jual beli dengan cicilan yang mensyaratkan adanya uang muka, jika penjual telah menyerahkan barang-barang karena percaya kepada pembeli, tetapi uang muka tidak dibayar maka barang yang sudah diserahkan harus dikembalikan oleh pembeli.
10. Lewat Waktu
Menurut Pasal 1946 KUHPerdata atau biasa dikenal dengan Lewat Waktu, maka lewat waktu dapat menimbulkan dua akibat hukum. Pertama adalah lewat waktu untuk memperoleh hak dan Kedua lewat waktu yang membebaskan dari adanya suatu perikatan.
Lewat waktu untuk memperoleh hak hal ini dibahas dalam Hukum Benda sedangkan dalam Hukum Perikatan maka yang penting adalah lewat waktu yang menghapuskan perikatan.
Dengan lewatnya waktu ini maka kreditur kehilangan hak untuk menuntut prestasi yang menjadi kewajiban debitur sebagaimana diatur pada Pasal 1967 KUHPerdata yang menyebutkan :
“ Segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak, lagipula dapat diajukan terhadapnya suatu tangkisan yang didasarkan pada itikadnya yang buruk “.
Berdasarkan hal tersebut maka debitur dengan lewatnya waktu tidak ada kewajiban untuk melaksanakan prestasinya sehingga prestasi itu tergantung kepada debitur akan melaksanakan atau tidak, tetapi yang jelas sudah menghilangkan hak debitur untuk melakukan penuntutan.
ANEKA PERJANJIAN
Dalam modul ini dibahas mengenai beberapa jenis perjanjian tertentu; berupa jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, melakukan pekerjaan, persekutuan, perkumpulan dan hibah. Sedangkan perjanjian selebihnya akan dibahas pada modul selanjutnya. Perjanjian jual beli, tukar menukar, dan hibah merupakan jenis perjanjian yang bertujuan untuk mengalihkan kepemilikan atas barang. Jenis perjanjian ini menjadi atas hak (recht title) atas terjadinya penyerahan (levering) yang berakibat pada terjadinya peralihan hak milik.
Berbeda dengan jenis perjanjian sebelumnya, dalam perjanjian sewa menyewa tidak bertujuan untuk mengalihkan hak milik , tetapi bertujuan memberikan kenikmatan atas suatu benda atau barang yang disewa. Sedangkan perjanjian melakukan pekerjaan sudah tidak berlaku lagi sepanjang telah diatur dalam undang-undang dan peraturan dibidang ketenagakerjaan yang telah diatur dalam peraturan tersendiri.
Selanjutnya, untuk persekutuan dan perkumpulan, merupakan jenis perjanjian dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melakukan tujuan tertentu. Pada persekutuan para pihak saling mengikatkan diri dalam persekutuan guna menjalankan usaha, sedangkan dalam perkumpulan para pihak saling mengikatkan diri untuk menjalankan tujuan tertentu yang umumnya bersifat sosial atau nirlaba.
Dalam setiap perjanjian terdapat hal yang esensial atau harus ada sehingga dapat dibedakan jenis perjanjian yang satu dengan jenis perjanjian yang lainnya. Tanpa hal yang esensial dalam perjanjian tersebut maka suatu perjanjian dianggap tidak pernah ada. Misalnya dalam perjanjian jual beli terdapat hal yang essensial dan harus ada yaitu kesepakatan tentang harga dan barang yang dijual. Barang yang dijual minimal harus ditentukan jenisnya.
KEGIATAN BELAJAR 1 : PERJANJIAN JUAL BELI DAN TUKAR MENUKARA. PERJANJIAN JUAL BELI
A. PERJANJIAN JUAL BELI
1. Pengertian
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian; pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain membayar harga yang telah dijanjikan.
Dalam perbuatn hukum jual beli terdapat dua pihak, pihak yang satu disebut sebagai penjual dan pihak yang lain disebut sebagai pembeli. Pihak yang pertama mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang dan pihak yang lain wajib menyerahkan harga.
Prof. R. Subekti, SH.; Mendefinisikan jual beli sebagai perjanjian bertimbal balik dimana piahk yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari problem hak milik tersebut.
2. Unsur-Unsur Pokok (Essensialia) Perjanjian Jual Beli
Essensialia dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Perjanjian jual beli dianggap sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata sepakat mengenai barang dan harga. Hal ini sejalan dengan Asas Konsesualisme yang menjiwai Hukum Perjanjian.
Pasal 1458 KUH Perdata menyatakan “Jual beli dianggap sudah
terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat
tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya
belum dibayar”.
3. Kewajiban Penjual
Pasal 1474 KUHPerdata menyebutkan dua kewajiban penjual, yaitu menyerahkan barang dan menanggungnya. Mengenai penyerahan barang diatur lebih lanjut oleh Pasal 1475 s/d Pasal 1490 KUHPerdata. Sedangkan mengenai kewajiban menanggung diatur oleh Pasal 1491 KUHPerdata yang menyatakan :
“ Penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si
pembeli adalah untuk menjamin dua hal yaitu pertama penguasaan benda yang
dijual secara aman dan tenteram; Kedua terhadap adanya cacat-cacat barang
tersebut yang tersembunyi atau sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk
pembatalan pembelinya “.
Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang diartikan sebagai menyerahkan hak milik atas benda yang dijual.
Perjanjian jual beli menurut KUH Perdata bersifat obligator, berdasarkan Pasal 1459 KUH Perdata maka perjanjian jual beli baru meletakkan kepada si penjual kewajiban untuk menyerahkan hak milik atas barang yang dijualnya sekaligus memberikan kepadanya hak untuk menuntut pembayaran harga yang disetujui, pemindahan hak milik harus dilakukan dengan levering (transfer of ownership), sah dan tidaknya pemindahan hak milik tergantung pada dua hal, yaitu Pertama, sahnya title yang menjadi dasar dilakukannya levering dan Kedua dilakukan oleh orang yang berhak berbuat bebas (beschikkings beroegd) terhadap barang yang dilever, yaitu pemilik barang atau orang yang dikuasakan olehnya.
4. Kewajiban Pembeli
Kewajiban pembeli diatur dalam Pasal 1513 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.
5. Risiko Dalam Jual Beli
Risiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh sesuatu kejadian (peristiwa) di luar kesalahan salah satu pihak. Persoalannya tentang risikoberpangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam Hukum Perjanjian disebut “keadaan memaksa” (“overmatch”,”force majeur”)
Menurut ketentuan-ketetntuan Pasal 1461 dan Pasal 1462 KUHPerdata risiko atas barang-barang yang dijual menurut berat, jumlah ditimbang, dihitung atau diukur, sedangkan risiko ats barang-barang yang dijual menurut tumpukan diletakkan pada si pembeli.
B. PERJANJIAN TUKAR MENUKAR
1. Pengertian
Pasal 1541 KUHPerdata :
“ Tukar menukar ialah suatu
perjanjian, di mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling
memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya suatu barang
lain “
Perjanjian Tukar Menukar adalah perjanjian konsensuil dan obligator, artinya perjanjian tersebut dapat dianggap sudah lahir dan mengikat pada saat tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang menjadi obyek dari perjanjiannya.
Yang dimaksud dengan “obligator” adalah ia belum memindahkan hak milik, tetapi baru pada tahap memberikan hak dan kewajiban. Masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian. Yang memindahkan hak milik atas masing-masing barang adalah perbuatan hak yang dinamakan “levering” atau penyerahan hak milik secara yuridis.
2. Obyek Perjanjian Tukar Menukar
Pasal 1542 KUHPerdata segala apa yang dapat dijual, dapat pula menjadi bahan tukar menukar. Jadi, obyek dalam perjanjian tukar menukar adalah barang dilawankan dengan barang atau dapat juga disebut dengan istilah barter.
3. Para Pihak (Subyek) Perjanjian Tukar Menukar
Para pihak harus pemilik dari barang yang dia janjikan untuk diserahkan dalam Tukar Menukar.Pasal 1542 KUHPerdata menyebutkan :
Mengenai barang bergerak, bandingkan dengan ketentuan pasal 1977 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan :
“ Terhadap benda bergerak yang tidak berupa
bunga, maupun piutangyang tidak harus dibayar kepada si pembawa maka barang
siapa yang menguasainya dianggap sebagai pemiliknya “
4. Kewajiban Penanggungan (Vrijwaring) dalam Perjanjian Tukar Menukar
a. Penanggungan terhadap kenikmatan tenteram atas barang yang ditukarkan
b. Menanggung terhadap adanya cacat-cacat tersembunyi
5. Risiko dalam Perjanjian Tukar Menukar
Pasal 1545 KUHPerdata menyebutkan :
“Jika suatu barang tertentu, yang telah
dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka perjanjian
dianggap sebagai gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi perjanjian,
dapat menuntut kembali brang yang telah diberikan dalam tukar menukar “
Menurut Prof. R. Subekti, S.H. peraturan risiko yang diberikan oleh Pasal 1545 KUHPerdata itu sudah tepat sekali risiko itu memang seadilnya harus dipikulkan kepada pundak masing-masing pemilik barang. Oleh karena itu, maka peraturan tentang risiko dalam perjanjian tukar menukar itu sebaiknya dipakai sebagai pedoman dalam perjanjian timbal balik lainnya yang timbul dalam praktek.
KEGIATAN BELAJAR 2 : PERJANJIAN SEWA MENYEWA DAN
MELAKUKAN PEKERJAAN
A. PERJANJIAN SEWA MENYEWA
1. Pengertian
Pasal 1548 KUHPerdata menyebutkan bahwa sewa menyewa ialah suatu perjanjian, pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga.
KEGIATAN BELAJAR 2 : PERJANJIAN SEWA MENYEWA DAN
MELAKUKAN PEKERJAAN
A. PERJANJIAN SEWA MENYEWA
1. Pengertian
Pasal 1548 KUHPerdata menyebutkan bahwa sewa menyewa ialah suatu perjanjian, pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga.
Dari Pasal 1548 KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian sewa menyewa bersifat konsensuil, artinya perjanjian tersebut sah dan mengikat pada detik tercapainya kata sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga.
Essensialia dari perjanjian ini adalah barang yang di sewa dan harga sewa, mengenai waktu tertentu bukanlah merupakan syarat mutlak. Harga sewa dapat berupa uang, dapat juga berupa barang atau jasa.
2. Kewajiban yan Menyewakan
Pasal 1550 KUHPerdata menyebutkan kewajiban yang menyewakan adalah :
- menyerahkan barang yang disewakan;
- memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa hingga dapat dipakai untuk kepentingan yang dimaksud;
- memberikan kenikmatan tenteram selama berlansungnya persewaan.
- memakai barang yang disewa sebagai seorang "Bapak rumah yang baik "
- membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan
Pasal 1561 KUHPerdata :
“ Jika penyewa memakai barang yang disewa untuk keperluan lain maka pihak yang menyewakan dapat meminta pembatalan sewanya “.
Pasal 1581 KUHPerdata :
Penyewa yang tidak melengkapi rumah yang disewa dengan perabot rumah secukupnya, dapat dipaksa untuk menggosongkan rumah itu, kecuali apabila ia memberikan cukup jaminan untuk pembayaran uang sewa (pandbeslag)
Pasal 1583 KUHPerdata :
Pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari dipikul oleh si penyewa.
4. Risiko dalam Sewa Menyewa
Pasal 1553 KUHPerdata :
“ Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan
sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja maka perjanjian
sewa gugur demi hukum.
Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa
dapat memilih, menurut keadaan apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa,
ataukah ia akan meminta bahkan pembatalan perjanjian sewanya tetapi tidak dalam
satu dari kedua hal itu pun ia berhak atas suatu ganti kerugian “
Dengan demikian, maka berdasarkan Pasal 1553 KUHPerdata risiko dalam perjanjian sewa menyewa dipikul oleh pihak yang menyewakan (si pemilik barang) apabila barangnya musnah karena kesalahan salah satu pihak.
5. Mengulang Sewaktu dan Melepaskan Hak Sewa
Mengulang sewaktu dan melepaskan hak sewa dilarang melalui Pasal 1559 KUHPerdata, dalam pasal tersebut dinyatakan :
b. Pemilik barang tidak diwajibkan menaati perjanjian ulang sewa dengan orang ketiga.
Menyewakan sebagian : diperbolehkan kecuali telah dilarang dalam perjanjian sewa.
6. Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa
a. Tertulis (Pasal 1570 KUHPerdata)
Berakhirnya demi hukum (otomatis) apabila waktu yang ditentukan sudah habis, tidak diperlukan pemberitahuan penghentian
b. Lisan (Pasal 1571 KUHPerdata)
Harus dilakukan pemberitahuan kepada penyewa bahwa ia hendak menghentikan sewa jangka waktu sesuai kebiasaan.
Jika tidak ada pemberitahuan dianggap diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
Sewa tertulis setelah habis waktunya dan penyewa dibiarkan menempati rumah sewa berubah menjadi sewa lisan tanpa waktu tertentu yang hanya dapat diakhiri menurut adat kebiasaan setempat (Pasal 157 KUHPerdata)
7. Jual Beli Tidak Memutuskan Sewa Menyewa
Pasal 1576 KUHPerdata :
“ Dengan dijualnya barang yang disewa suatu
persewaan yang dibuat sebelumnya tidaklah diputuskan kecuali apabila ini telah
diperjanjikan pada waktu menyewakan barang “.
Jual beli disini dimaksudkan untuk setiap perbuatan Hukum perpindahan hak milik, termasuk di dalamnya tukar menukar, hibah, dan waris.
Tujuan dari ketentuan ini adalah untuk melindungi kepentingan pihak penyewa apabila dalam masa sewa terjadi perpindahan hak milik atau barang yang disewa.
B. PERJANJIAN MELAKUKAN PEKERJAAN
Ada 3 (tiga) macam perjanjian untuk melakukan pekerjaan, yaitu berikut ini :
1. Perjanjian untuk melakukan jasa tertentu;
Dalam perjanjian ini suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya dilakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, untuk itu ia bersedia membayar upah, lawannya adalah seorang ahli yang melakukan pekerjaan tersebut, Misalnya, nation of clien, dokter dengan pasien.
2. Perjanjian Perburuhan;
- Upah/gaji
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan;
KEGIATAN BELAJAR 3 : PERJANJIAN PERSEKUTUAN DAN HIBAH
A. PERJANJIAN PERSEKUTUAN
1. Pengertian
Persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk berusaha bersama-sama mencari keuntungan yang akan dicapai dengan jalan masing-masing memasukkan sesuatu dalam suatu kekayaan bersama.
2. Hubungan antara Para Sekutu
Hubungan antara para sekutu sebatas pada apa yang ditanamkan oleh masing-masing teman sekutu karena bentuknya ada yang memasukkan uang, tenaga atau barang saja. Pembagian keuntungan pun tentu akan tergantung apa yang diberikan pada persekutuannya, diatur secara bersama dalam perjanjian persekutuan.
3. Hubungan Para Sekutu dengan Pihak Ketiga
Tanggung Jawab para sekutu masing-masing terhadap pihak ke III, ditetapkan dalam Pasal 1643 KUHPerdata, yang berbunyi sebagai berikut :
“ Para sekutu dapat dituntut oleh si berpiutang
dengan siapa mereka telah bertindak, masing-masing untuk suatu jumlah dan
bagian yang sama, meskipun bagian sekutu yang satu dalam persekutuan adalah
kurang dari pada bagian sekutu lainnya, terkecuali apabila sewaktu hutang
tersebut dibuatnya dengan tegas ditetapkan kewajiban para sekutu untuk membayar
hutang tersebut, menurut imbangan besarnya bagian masing-masing dalam
persekutuannya “.
Tanggung jawab yang dibebankan pada para sekutu tersebut diatas adalah merupakan tanggung jawab yang lazim dibebankan pada beberapa orang yang bersama-sama meminjam uang dari pihak ke III maka pembayaran yang menjadi kewajiban merupakan tanggung jawab yang dibagi rata
4. Berakhirnya Persekutuan
Pasal 1646 KUHPeradata :
B. PERJANJIAN HIBAH
1. Pengertian
Penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah di waktu hidupnya dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan hibah itu.
2. Beban dan Syarat
Dibedakan antara “beban” dan “syarat” dalam perjanjian hibah :
Jika dalam perjanjian hibah ditetapkan suatu syarat, maka si penerima bebas untuk menerima atau menolaknya. Sementara jika ada beban dalam suatu perjanjian hibah maka si penerima dibebani suatu kewajiban yang tidak dapat dihindarinya.
3. Kecakapan untuk Memberi dan Menerima Hibah
Pemberi hibah harus seorang yang sudah dewasa dan segar pikirannya. Pengecualian dalam hal yang bersangkutan belum berusia 21 tahun, sudah menikah dengan syarat “dibantu” oleh orang tua atau orang yang mengizinkannya untuk melangsungkan perkawinan.
Sementara penerima hibah, baik mereka yang belum dewasa dengan diwakili oleh orang tua atau walinya.
4. Cara Menghibahkan
a. Penghibahan Benda Tak Begerak;
b. Penghibahan Benda Bergerak;
5. Cara Menghibah dan Penghapusan Hibah
Pasal 688 KUHPerdata, memberi kemungkinan untuk penarikan kembali hibah atau penghapusan dalam hal :
Perjanjian Leasing | Perjanjian Sewa-Beli & Jual Beli dengan Angsuran |
---|---|
1. Lessor adalah pihak yang menyediakan dana dan membiayai seluruh pembelian barang tersebut |
1. Harga pembelian barang sebagian kadang-kadang dibayar oleh pembeli. Jadi penjual tidak membiayai seluruh harga beli barang yang bersangkutan |
2. Masa Leasing biasanya ditetapkan sesuai dengan perkiraan umur kegunaan barang |
2. Jangka waktu dalam perjanjian sewa beli dan jual beli dengan angsuran, tidak memperjatikan baik pada perkiraan umur kegunaan barang maupun kemampuan pembeli mengangsur harga barang |
3. Pada kahir masa (leasing, lesse dapat menggunakan hak opsinya (hak pilih) untuk membeli barang yang bersangkutan, sehingga hak milik atas barang beralih pada lesse |
3. Pada akhir masa perjanjian sewa beli dan jual dengan angsuran, hak milik atas barang dengan sendirinya beralih kepada pembeli. Hak milik atas barang beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada pembeli |
Penarikan kembali/penghapusan dilakukan dengan menyatakannya secara terbuka pada si penerima hibah, disertai dengan penuntutan kembali barang-barang yang sudah dihibahkan jika tidak berhasil dengan sukarela dapat dituntut ke pengadilan.
ANEKA PERJANJIAN LANJUTAN
Akan dibahas mengenai perjanjian penitipan barang, pinajm pakai, pinjam meminjam, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggungan, perdamaian, termasuk jenis perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata seperti jual beli angsuran, sewa beli dan sewa guna usaha. Ketiga jenis perjanjian terakhir disebut dengan perjanjian innominaat, karena tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata, tetapi umum diperjanjikan di masyarakat berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Sedangkan jenis perjanjian yang disebutkan dan diatur dalam KUHPerdata disebut perjanjian nominaat.
Perjanjian pinjam pakai dapat dibedakan dengan perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian pinjam pakai bendanya tidak habis dalam pemakaian, sedangkan dalam perjanjian pinjam meminjam bendanya habis dalam pemakaian. Termasuk dalam perjanjian pinjam meminjam adalah perjanjian hutang piutang.
Perjanjian penanggungan merupakan perjanjian yang melibatkan tiga pihak, yaitu kreditur, debitur, dan penanggung. Hal yang terpenting terkait dengan perjanjian penanggungan adalah ada dan hapusnya tergantung dari perikatan pokoknya, yaitu perjanjian hutang piutang. Dengan hapusnya hutang debitur maka hapus juga perjanjian penanggungannya. Sedangkan perjanjian perdamaian merupakan salah satu jenis perjanjian formal yang untuk dinyatakan sah dan mengikat tidak cukup hanya berdasarkan kesepakatan semata, tetapi harus dibuat dalam bentuk tertulis.
Untuk memahami perjanjian jual-beli angsuran, sewa beli dan sewa guna usaha maka penting untuk dipahami terlebih dahulu ketentuan yang mengatur tentang jual beli dan sewa menyewa. Hal ini disebabkan dalam perjanjian sewa beli dan sewa guna usaha terdapat unsur perjanjian jual-beli dan sewa menyewa. Hanya saja untuk perjanjian jual beli angsuran dan sewa beli lebih dominan unsur perjanjian jual belinya dibandingkan sewa menyewa. Hal ini disebabkan tujuan perjanjian tersebut adalah membeli, hanya saja pembayarannya tidak dilakukan secara penuh melainkan secara angsuran atau cicilan. Sedangkan dalam perjanjian sewa guna usaha lebih dominan perjanjian sewa-menyewanya, disebabkan terdapat opsi atau pilihan bagi si penyewa di akhir periode perjanjian untuk membeli, melanjutkan sewa atau mengakhiri perjanjia. Dengan demikian, dalam perjanjian sewa guna usaha belum tentu terjadi peralihan hak milik.
KEGIATAN BELAJAR 1 : PENITIPAN BARANG, PINJAM
PAKAI, DAN PINJAM MENGGANTI
A. PERJANJIAN PENITIPAN BARANG
1. Pengertian
Pasal 1694 KUHPerdata, penitipan terjadi apabila seseorang menerima sesuatu barang dari seorang lainnya, dengan syarat bahwa ia kan menyimpannya dan mengembalikan pada wujud asalnya.
2. Macam-Macam Penitipan Barang
a. Penitipan Barang Sejati;
b. Sekestrasi;
Sekestrasi dapat terjadi karena :
Sekretasi dapat dilakukan untuk benda bergerak maupun benda tak bergerak. Si penerima titipan ditugaskan untuk melakukan sekretasi tidak dapat dibebaskan tugasnya, sebelum persengketaan diselesaikan, kecuali apabila semua pihak yang berkepentingan menyetujui atau dengan alasan lain yang sah (Pasal 1735 KUHPerdata).
B. PERJANJIAN PINJAM PAKAI
1. Pengertian
2. Kewajiban Si Peminjam
3. Kewajiban Ornag yang Meminjamkan
C. PERJANJIAN PINJAM MENGGANTI
1. Pengertian
2. Kewajiban Orang yang Meminjamkan
3. Kewajiban Peminjam
KEGIATAN
BELAJAR 2 : UNTUNG-UNTUNGAN, PEMBERIAN KUASA, DAN PENANGGUNGAN HUTANG
A.
PERJANJIAN UNTUNG-UNTUNGAN
1.
Pengertian
Perjanjian untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung ruginya, bagi semua pihak manapun bagi sementara pihak tergantung pada suatu kejadian yang belum tentu (Pasal 1774 KUHPerdata).
2. Macam-Macamnya :
a. Perjanjian Pertanggungan
B. PERJANJIAN PEMEBRIAN KUASA
1. Pengertian
Pasal 1792 KUHPerdata : Pemberian Kuasa adalah suatu perjajian dengan mana seorang memberi kekuasaan (wewenang) kepada orang lain yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
2. Kewajiban Penerima Kuasa
Dalam menjalankan kewajiban dalam perjanjian penerima kuasa ini, si penerima kuasa harus menanngung segala biaya kerugian dan bunga yang mungkin timbul karena tidak dilaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.
3. Kewajiban Pemberi Kuasa
Pemberi Kuasa, wajib memenuhi perikatan yang sudah dibuat oleh si penerima kuasa, tetapi ia tidak terikat. Jika perbuatan si penerima kuasa melebihi wewenang yang dimiliki penerima kuasa, pemberi kuasa wajib mengganti biaya-biaya yang dikeluarkan oleh si penerima kuasa dalam melaksanakan kuasanya itu.
4. Berakhirnya Pemberian Kuasa
Pasal 1813 KUHPerdata :
C. PERJANJIAN PENANGGUNG HUTANG
1. Pengertian
Pasal 1131 KUHPerdata, mengatur mengenai jaminan pada umumnya; pada jaminan umum dirasakan kurang aman bagi kreditur karena kekayaan debitur menjadi jaminan bagi semua perikatan yang dibuatnya (debitur), dengan demikian jika terdapat banyak kreditur ada kemungkinan di antara kreditur ada yang tidak kebagian jaminan tersebut
Oleh karena itu, kreditur membutuhkan jaminan yang lebih aman berupa jaminan khusus, dalam hal ini dapat berupa :
a. Jaminan kebendaan terdiri
dari :
Perjanjian jaminan penanggungan hutang (Borgtocht) yang rumusannya diberikan oleh Pasal 1820 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut :
2. Sifat Perjanjian Penanggungan
Sifat perjanjia penanggunag bukan merupakan perjanjian pokok melainkan perjanjian accesoir (ikutan) yang melekat pada perjanjian hutang piutang sebagaimana hipotik atau gadai.
3. Akibat Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung
Penanggung tidak diwajibkan membayar pada kreditur, jika debitur sudh memenuhi prestasinya. Denagn demikian, tanggung jawab penanggung hanya cadangan, dalam hal debitur tidak sanggup membayar kekurangan dana untuk melunasi perikatannya.
4. Akibat Penanggungan Antardebitur dan Penanggung dan Antara Para Penanggung
Si penanggung yang tidak membayar dapat menuntut dari debitur utama baik penanggung itu telah diadakan maupun tanpa pengetahuan debitur utama. Penuntutan dapat meliputi hutang pokok dan bunga serta biaya-biaya.
5. Hapusnya Penanggungan
Sebab hapusnya perjajian penanggungan terkover oleh Pasal 1381 KUHPerdata, akan tetapi jika terjadi percampuran harta antara si debitur utama dengan harta penanggung maka tuntutan kreditur tetap dapat dilakukan (Pasal 1846 KUHPerdata).
KEGIATAN BELAJAR 3 : PERDAMAIAN, JUAL BELI ANGSURAN, SEWA BELI, DAN
SEWA GUNA USAHA
A. PERJANJIAN PERDAMAIAN
1. Pengertian
Perdamaian adalah suatu perjanjian dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan dan menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara.
2. Syarat Perdamaian
Untuk melakukan perjanjian perdamaiandiperlukan kekuasaan untuk melepaskan hak. Jika yang dipertengkarkan mengenai suatu benda maka yang berlaku untuk melakukan perjanjian perdamaian hanya pemilik benda itu sendiri.
B. PERJANJIAN JUAL BELI ANGSURAN (CREDIT SALE)
Dalam perjanjian jual beli dengan angsuran, berbeda dengan sewa beli karena dalam jual beli dengan angsuran hak atas benda yang dijaikan obyek jual beli tersebut sudah beralih pada saat angsuran pertama dibayar. Dengan demikian, pembeli seketika menjadi pemilik mutlak dari barangnya dan untuk selanjutnya ia berhutang pada penjual berupa harga/sebagian harga yang belum dibayarnya.
Arti lain dari bentuk pemindahan hak milik dalam jualbeli dengan angsuran, si pembeli seketika barang sudah dikuasainya, ia sudah berhak untuk menjual barang tersebut. Sementara ia tetap dibebani kewajiban untuk mengangsur harga yang ditetapkan dengan jual beli dengan angsuran.
C. PERJANJIAN SEWA BELI (HUURKOOP, HIREPURCHASE)
1. Istilah dan Pengertian
Dalam bahasa Belanda dikenal dengan Huurkoop, sedangkan dalam bahasa Inggris Hire Purchase, merupakan suatu ciptaan praktik (kebiasaan) yang diakui sal oleh yurisprudensi, dalam KUH Perdata baru di negara Belanda, sudah dimasukkan dalam aturannya.
Perkembangan praktik yang demikian tersebut dimungkinkan sesuai dengan sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak. Sewa beli sebenarnya adalah salah satu bentuk jual beli, dalam bentuknya lebih mendekati perjajian jual beli dibandingkan dengan perjanjian sewa menyewa.
Dalam Hire Purchase act, 1965 bentuk ini dikonstruksikan sebagai suatu perjajian “sewa menyewa” dengan hak opsi dari si penyewa untuk membeli barang yang disewanya.
Maksud dari kedua belah pihak tertuju pada peralihan hak milik atas suatu barang di satu pihak, sedangkan pihak lainnya memperoleh sejumlah uang sebagai harga dari barang tersebut.
Sewa beli, awalnya merupakan jalan keluar bagi pembeli yang tidak memiliki uang untuk membayar barang yang dibelinya secara tunai. Sementara penjual membolehkan pembayaran secara angsuran dengan jaminan barang yang dijualnya.
Sehingga dalam konstruksi ini pembeli berlaku sebagai penyewa sebelum barang lunas dibayar. Penyerahan hak milik baru akan dilakukan pada saat angsuran terakhir, penyerahan bisa dilakukan dengan pernyataan saja, karena fisik barang sudah dalam penguasaan pihak pembeli/penyewa.
D. PERJANJIAN SEWA HUNA USAHA (LEASING)
1. Istilah dan Pengertian
Istilah dalam bahasa Inggris to lease, yang berarti menyewakan Leasing sebagai suatu jenis kegiatan yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1974. Pengertian Leasing dapat dijumpai dalam surat keputusan bersama tiga menteri, yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor Kep. 122/MK/IV/1974, Nomor 30/KPB/1974 tanggal 7 Februari 1974; sebagai berikut :
Leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan, untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang berangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
2. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Leasing
a. Lessor; adalah pihak yang menyerahkan barang, dapat terdiri dari beberapa perusahaan disebut investor, equity, holder, owner participants, trusters-owner.
3. Jenis Pembiayaan Melalui Leasing
a. Financial Lease;
Dalam financial lease ini kontrak leasing meliputi jangka waktu lebih singkat dari umur ekonomis barang modal yang disewakan. Pada kontrak leasing jenis ini, lessor (leasing company) mengharapkan dapat menerima kembali seluruh harga barang modal yang disewakan, termsuk biaya-biaya lainnya seperti bunga, pajak asuransi, biaya pemeliharaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, biaya sewa harus dibayar oleh lesse (si penyewa) akan meliputi juga biaya-biaya tersebut disamping harga barang modal yang disewakan. Leasing semacam ini biasanya disediakan oleh perusahaan-perusahaan asuransi, bank-bank komersial atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.
Perjanjian financial lease ini biasanya tidak dapat dibatalkan / diputuskan di tengah jalan oleh salah satu pihak, kecuali jika pihak leasse tidak memnuhi perjanjian / kontrak.
b. Operating Lease;
Tujuan utama operating lease ini adalah menjual barang modal itu, apabila kelak telah habis jangka waktu perjanjian lease sehingga untuk ini dapat diberikan syarat-syarat yang lebih ringan / lunak.
Syarat-syarat yang lebih ringan, antara lain berupa barang sewa / cicilan yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan harga sewa dalam financial lease. Tarif sewa tidak termasuk pajak, biaya, service, asuransi. Oleh karenanya, sistem ini disebut juga true lease.
Biaya-biaya yang diperhitugkan dalam sewa antara lain adalah harga barang (cif), bea masuk, bongkar muat di pelabuhan, transpor dan persentase sewa.
Risiko pemilikan selama jangka waktu leasing menjadi tanggung jawab lessor, karena itu pajak kekayaan menjadi tanggungan lessor juga.
c. Sales dan Lease Back;
Merupakan suatu cara pembiayaan yang mana pemilik equiptment menjual hak miliknya kepada lessor dan kemudian equiptment tersebut oleh lessor di-lease-kan kembali kepadanya (pemilik semula). Bentuk perjanjian ini diadakan apabila lesse (biasanya perusahaan besar) ingin menutup defisit yang telah diperkirakan akan terjadi. Dalam hal ini lesse menjual hak miliknya atas equiptment tersebut dan menahan hak pakainaya.
4. Perbedaan Leasing dengan Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian
Sewa Beli dengan Angsuran
a. Perjanjian Sewa Menyewa;
Perjanjian SewaMenyewa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Pasal
1548 s.d. Pasal 1600). Menurut Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, pada pokoknya perjanjian sewa menyewa adalah :
Sepintas lalu perjajian sewa-menyewa mirip dengan unsur-unsur dalam perjanjian lease, tetapi apabila ditelaah lebih lanjut maka kedua perjanjian ini ternyata tidak sama, khususnya mengenai financial lease.
Pokok perbedaan adalah sebagai berikut :
Financial Lease | Perjanjian Sewa Menyewa |
---|---|
1. Merupakan Suatu Metode Pembiayaan | 1. Bukan merupakan suatu metode pembiayaan |
2. Lessor adalah badan penyediaan dana (financier) dan lessor menjadi pemilik barang yang di lease |
2. Yang menyewakan barang dapat menjadi pemilik barang yang disewakan, tetapi dapat juga bukan pemilik barang yang disewakan |
3. Obyek leasing biasanya adalah berupa alat-alat produksi |
3. Obyek barang yang disewa dapat berupa alat produksi atau barang yang lain yang tidak habis dinikmati |
4. Risiko yang terjadi pada obyek leasing seluruhnya ada pada lesse, Pada umumnya, pemeliharaan pun juga menjadi kewajiban lesse |
4. Risiko yang terjadi pada obyek sewa-menyewa ada pada yang menyewakan. Demikian juga masalah pemeliharaan, menjadi kewajiban yang menyewakan |
5. Imbalan jasa yang diterima lessor adalah berupa tebusan berkala harga perolehan barang |
5. Imbalan jasa yang diterima oleh yang menyewakan adalah berupa uang sewa |
6. Jangka waktu leasing ditentukan dalam perjanjian lease selama waktu tertentu |
6. Jangka waktu sewa-menyewa terbatas |
7. Kewajiban lesse membayar imbalan jasa. lesset idak berhenti atau berkurang walaupun barang yang menjadi obyek lease musnah ataupun belum mulai menikmati kegunaan barang tersebut |
7. Kewajiban penyewa hanya ada bila si penyewa dapat menikmati barang yang disewa. Bila barang yang disewa musnah, maka sudah barang tentu penyewa tidak membayar sewa atas barang yang disewa |
b.
Perjanjian sewa beli dan jual beli dengan angsuran
Kedua jenis perjanjian ini belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena itu, Menteri Perdagangan dan Koperasi menerbitkan Keputusan Nomor 34/KP/II/80, tanggal 1 Februari 1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli (Hire Purchase), Jual Beli dengan angsuran (Credit Sale) dan Sewa (Renting). Di dalam keputusan tersebut diberikan definisi-definisi sebagai berikut :
“ Sewa beli (Hire Purchase) adalah jual beli barang di mana penjual
melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran
yang dilakukan oleh si pembeli yang dengan pelunasan atas harga barang yang
telah disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak
milik atas barang baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah
harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual “
Sedangkan definisi Jual Beli dengan Angsuran, diberikan definisi sebagai berikut :
“ Jual beli dengan angsuran adalah jual beli di mana penjual
melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan pembayaran yang
dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali angsuran atas harga barang yang
disepakati bersama dan yang diikat dalam suatu perjajian, serta hak milik atas
barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya
diserahkan oleh penjual kepada pembeli “
Adapun persamaan antara Perjajian Leasing dengan Perjanjian Sewa Beli dan Jual Beli dengan Angsuran adalah sebgai berikut :
Perjanjian Leasing | Perjanjian Sewa-Beli & Jual Beli dengan angsuran |
---|---|
Lesse membayar imbalan jasa kepada lessor dalam waktu tertentu |
Pembeli membayar angsuran kepada penjual dalam waktu tertentu sesuai dengan perjanjian |
Disamping persamaan, terdapat juga perbedaan antara Perjanjian Leasing dengan Perjanjian Sewa Beli dan Jual Beli dengan angsuran adalah sebagai berikut :
Perjanjian Leasing | Perjanjian Sewa-Beli & Jual Beli dengan Angsuran |
---|---|
1. Lessor adalah pihak yang menyediakan dana dan membiayai seluruh pembelian barang tersebut |
1. Harga pembelian barang sebagian kadang-kadang dibayar oleh pembeli. Jadi penjual tidak membiayai seluruh harga beli barang yang bersangkutan |
2. Masa Leasing biasanya ditetapkan sesuai dengan perkiraan umur kegunaan barang |
2. Jangka waktu dalam perjanjian sewa beli dan jual beli dengan angsuran, tidak memperjatikan baik pada perkiraan umur kegunaan barang maupun kemampuan pembeli mengangsur harga barang |
3. Pada kahir masa (leasing, lesse dapat menggunakan hak opsinya (hak pilih) untuk membeli barang yang bersangkutan, sehingga hak milik atas barang beralih pada lesse |
3. Pada akhir masa perjanjian sewa beli dan jual dengan angsuran, hak milik atas barang dengan sendirinya beralih kepada pembeli. Hak milik atas barang beralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya diserahkan oleh penjual kepada pembeli |