oleh Adi Suryadi Culla
Abstrak
Demokratis tidaknya suatu negara dapat dilihat dari budaya politiknya. Sebab, budaya politik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap sistem politik di negara tersebut. Budaya politik itu sendiri berkembang di dalam kehidupan masyarakat dan dipengaruhi oleh kompleksitas nilai yang dalam masyarakat tersebut. Jika budaya politiknya mendukung berkembangnya demokrasi, atau yang disebut civic culture, maka niscayanya sistem politiknya juga demokratis. Dalam kasus Indonesia, pasca Orde Baru, perubahan politik yang terjadi cenderung lebih bersifat legalistik ketimbang substantif. Sistem politik yang berhasil dibangun baru sampai pada betntuk demokrasi semu (pseudo demokrasi); pada dasaranta tataran perbubahan isntitusional yang sudah berlangsung tersebut belum ditunjang pula oleh terjadinya perubahan pada tataran budaya politik.
Pengantar
Untuk melihat tingkat kehidupan demokratis suatu negara, tergantung pada budaya politiknya. Budaya politik merupakan variabel determinan atau berpengaruh terhadap sistem politik. Adakah masyarakat Indonesia memiliki potensi budaya politik yang kondusig bagi berkembangnya sistem demokrasi? Pertanyaan ini kiranya menarik untuk dikaji kembali sehubungan dengan berkembangnya tuntutan demokratisasi yang kini sedang marak sejak keruntuhan rezim Orde Baru di Indonesia.
Indonesia adalah sebauh wilayah dengan karateristik budaya masyarakatnya yang unik dan kompleks. Dilihat dari segi asal-usulnya, masyarakat Indonesia merupakan produk sejarah dari pencampuran berbagai macam ras, yang membangun kehidupan bersama dan bersebaran, dari banyak pulau/kepulauan, dengan identitas religus yang dipengaruhi oleh terutama empat corak agama besar (Hindu, Budha, Islam, dan Kristen), dan terdiri dari ratusan jumlah etnik dengan bahasa yang berlainan, dan sebagainya.
Dengan ciri masyakaratnya yang bersifat plural itu, maka dapat dilihat sebagai pengaruh yang ada terhadap pembentukan budaya masyarakatnya. Misalnya, aspek sejarah, geografi, pluralitas agama, etnik, ras, dan bahasa. Maka, tidaklah mengherankan jika gambaran masyarakat di setiap daerah pun memiliki karateristik budaya yang beragam.
Tidak perlu disebtukan di sini berbagai macam studi yang telah dilakukan para ahli maupun lembaga tertentu yang mengungkapkan gambaran mengenai corak budaya masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Mulai dari masyarakat yang terdapat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Barat, dan Irian Jaya (Papua). Yang jelas, di masingmasing daerah pulau/kepuluan tersebut, hidup beragam kelompoke etnik dengan karateristik budayanya sendiri. Gambaran sifat multi-culture, tersebut dengan segala kompleksitas faktor sosio-historis yang mempengaruhinya, tentu harus dipertiimbangkan dalam memahami budaya asli masyarakat Indonesia.
Sayangnya, dari berbagai studi yang ada, perhatian masih jarang dilakukan secara spesifik untuk mengkaji lebih dalam akar nilai-nilai demokrasi berdasarakan budaya politik yang berkembang dalam setiap masyarakat daearah. Ada alasan sederhana mengapa hal ini mungkin tidak terlalu menarik minat para sarjana dan peneliti. Penyebabnya terutama adalah karena terlanjurnya muncul persepsi umum bahawa dalam budaya politik lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia tidak terdapat nilainilai demokrasi; apalagi jika masalah ini dipahami menurut berbagai rujukan konsep politik moderen.
Tetapi, pertanyaan: apakah benar dalam budaya politk lokal di Indonesia tidak terdapat nilai-nilai demokratis? Pertanyaan ini membuat kita perlu membuat pendifinisian atau konseptualisasi mengenai apa sesungguhnya yang kita maksudkan jika berbicara tentang demokrasi.
Yang pasti demokrasi bukanlah sebuah konsep yang abstrak atau normatif belaka, tetapi sekaligus merupakan cerimanan perilaku yang melekat pada diri manusia sebagai warga masyarakat. Demokrasi merupakan suatu konsep ideal yang ketiak diwujudkan dalam kehidupan bernegara memerlukan ukuran-ukuran tertentu, dalam kaitannya dengan relaitas politik yang dirujuk. Kriteria-kriteria tersebut menjadi ukuran nasional, termasuk dari segi budaya, untuk menilai apakah suatu masyarakat tertentu memiliki budaya politik yang demokratis atau tidak.
Memahami
Kriteria Demokrasi
Banyak sekali pengertian tentang demokrasi yang telah dirumuskan oleh para ilmuwan dan teoritis. Dari sejumlah pengertian tersebut, meskipun terdapat perbedaan nuansa konseptual, terutama jika dilihat dari identifikasi kriteria normatif yang dirumuskan oleh masingmasing teoritis, pada dasarnya terdapat persamaan-persamaan penting yang menunjukkan universalitas konsep demokrasi berdasarkan krteria-kriteria yang menjadi cerminan perwujudan konsep tersebut.
Herry B. Mayo, misalnya, mencatat setidaknya delaapan ciri utama yang harus diperhatikan untuk menilai apakah sebuah masyarakat bersifat demokratis atau tidak, yaitu: (1) adanya penyelesaian perselisihan dengan damai dan suka rela; (2) adanya jaminan bagi terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; (3) adanya pergantian penguasa yang berlangsung secara tearatur; (4) adanya pembatasan atas pemakain kekerasan (pakasaan) secara minimum; (5) adanya pengakuan dan penghormatan atas keanekaragaman; (6) adanya jaminan penegakan keadilan; (7) adanya upaya memajukan ilmu pengetahuan; (8) adanya pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.2
Sedangkan William Ebenstein menyebutkan sekitar delapan ciri utama yang dapat dijadikan acuan untuk memhami dan mengukur demokratis atau tidaknya kehidupan politik sebuah masyarakat, yaitu: (1) emperisme rasional; (2) penekanan pada individu; (3) negara sebagai alat; (4) kesukarelaan (voluntarism); (5) hukum diatas hukum; (6) penenkanan pada cara; (7) musyawaram mufakat sebagai dasar dalam hubungan antar manusia; dan (8) azas persamaan semua manusia.3 Kesemua ciri ini diletakkan dalam konteks pengharagaan setiap orang dalam mengekspresikan diri dan kepentingannya.
Akan halnya
Carter dan Hertz mengonseptualisasi tujuh ciri demokrasi, yaitu: (1) pembatasan
terhadap tindakan pemerintah dengan menjamin terjadinya pergantian pemimpin
secara berkala, tertib, damai, melalui alat-alat perwakilan rakyat yang
efektif; (2) mengharagai sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat yang
berlawanan; (3) menjamin persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap
tunduk kepada rule of law tanpa membedakan kedudukan politik;(4) adanya
kebebasan berpartisipasi dan berposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan,
masyarakat dan perorangan, termasuk bagi pers dan media massa; (5) adanya
penghormatan terhadap hak rakyat untuk meberikan pendapatnya betapapun tampak
masalah dan tidak populer; (6) penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan
perorangan; (7) pengunaan cara persuasif dan diskursif ketimbang koersif dan
repersif.4
Adapun Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria demokratis, yakni: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; (3) pemebebaran kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan; (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyakarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui pemerintahan; (5) pencakapan, yaitu terliputnya masyarkat dalam kaitannnya dengan hukum.5
Selanjutnya,
Andrews dan Chapman mengemukakan enam ciri demokrasi, yaitu: (1) hak suara yang
luas; (2) pemilihan umum yang bebas dan terbuka; (3) kebebasan berbicara dan
berkumpul; (4) pengharagaan aats rule of law; (5) pemerintah yang bergantung
pada parlemen; dan (6) badan pengadilan yang bebas.6
Sedangkan Ulf Sundhauessen menyebutkan tuga syarat demokrasi untuk suatu sistem politik, yaitu: (1) jaminan atas hak seluruh warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pemilu yang dilaksanakan secara berkala dan bebas; (2) semua warga negara menimkmati kebebasan berbicara, berorganiasasi, memperoleh informasi, dan beragama; (3) dijaminanya hak yang sama di depan hukum.7
Sementara Amin Rais mengajukan setidaknya sepuluh kriteria sebagai berikut: (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan; (2) persamaan di depan hukum; (3) distribusi penpatan secara adil; (4) kesempatan pendidikan yang sama; (5) pengakuan dan penghargaan terhadap empat macam kebebasan: kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan media massa, kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama; (6) ketersediaan dan keterbukaan infromasi; (7) mengindahkan fatsoen (tatakrama); (8) kebebasan individu; (9) semangat kerjasama; dan (10) hak untuk protes.8
Demikianlah,
berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di aats, tampak bertapa
variasinya ciri-ciri demokrasi yang dapat dikemukakan. Namun demikian, dari
sejumlah pendapat tersebut, terdapat beberapa kriteria demokrasi yang menjadi
titik persamaan dari keseluruhan pendapat tersebut, sebagai berikut:
1) Penghargaan
terhadap inividu. Di sini demokrasi merupakan sebuah padangan yang lebih
menonjolkan aspek individu ketimbang konektivitas;
2) Kebebasan
dalam empat hal, yaitu berpendapat; berkumpul atau mengadakan rapat; kebebasan
memperoleh informasi; dan kebebasan beragama;
3) Adanya
persamaan kedudukan bagi setiap warga negara di depan hukum tanpa kecuali.
Setiap warga negara berhak mendapatkanperlakuan hukum yang adil tanpa
membedakan asal-usul maupun latar belakang sosial;
4) Adanya
pemilihan pemimpin lembaga sosial dan pemerintahan yang dilakukan secara
berkala.
5) Adanya hak
yang dimiliki oleh setiap warga negara untuk dipilih dan memilih dalam
pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan secara berkala.
6) Adanya
partisipasi masyakarakat dalam pengambilan keputusan yang mengikat secara
kolektif.
7) Adanya hak
masyarakat untuk menyampaikan protes dan atau menjadi oposisi berhadapan dengan
penguasa;
8) Adanya
penghargaan terhadap cara persuasif ketimbang kekerasan dalam menciptakan
perubahan;
9) Adanya penghargaan terhadap terhadap hak-hak minoritas dalam kehidupan politik
10) Pentignya cara musyawarahmufakat dilakukan dalam penyelesaian setiap perkara dalam masyarakat.
Keseluruhan kriterian yang dikemukakan di atas kiranya dapat dijadikan basis konseptual untuk menilai ada tidaknya demokrasi yang berkembang di masyarakat Indonesia. Kriteria-kriteria tersebut mungkin sebagian ada yang sudah terwujud, sementara sebagain lainnya sudah nampak meskipun dengan perwujudan yang masih minimal. Namun, tentu saja usaha untuk mewujudkan sebagai dasar kriteria demokrasi tersebut tergantung pada demokratisasi yang mewarnai perkembangan politik Indonesia sendiri.
Budaya Politik
dan Demokratisasi
Demokrasi berhubungan erat dengan demokratisasi. Demokratisasi adalah sebuah proses politik yang dijalankan oleh pemerintah bersama masyarakat untuk menciptakan kehidupan politik yang demokratis. Dalam konteks itu, berlangsungnya demokratisasi penting untuk dilihat dengan mengacu kepada dua hal utama yang menjadi dasar demokrasi. Pertama, adanya seperangkat ketentuan normatif (kriteria nilai-nilai) yang harsu terpenuhi di dalam masyarakat. Kedua, adanya suatu struktur politik yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan yang memenuhi ketentuan normatif tersebut.
Demokratisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan politik (political change) dari keadaan yang dianggap lebih kurang demokratis. Alasan bagi adanya perubahan politik itu sendiri adalah disebabkan oleh ketidakpuasan psikologis yang telah dialami bersama oleh masyarakat sebagai warga negara terhadap kehidupan politik yang sedang dialami. Karena itu, perubahan politik dalam konteks demokratisasi tersebut pada dasarnya merupakan sebuah usaha yang legitimate untuk dilakukan oleh masyrakat itu sendiri dalam menciptkan keadaan yang lebih sesuai dengan tuntuan budaya politik yang demokratis.
Demokratisasi tidak akan bisa berjalan bila tidak ditunjang oleh adanya budaya politik yang sesuai dengan prinsipprinsip demokrasi. Dalam berhadapan dengan tuntutan perubahan, di dalam suatu masyarakat tertentu kemungkinan terdapat dua sikap yang secara ekstrim bertentangan secara budaya, yaitu bersifat “mendukung” (positif) di satu sisi, dan kemungkinan pula bersifat “menentang” (negatif) di sisi lain. Karena itu, demokratisasi sebagai sebuah prsoses perubahan dalam menciptakan kehidupan politik yang demokratis secara logis akan dihadapkan pula dengan dua kutub sikap ekstrim, yaitu apakah dalam budaya politik masyarakat bersangkutan terdapat nilainilai yang “pro” ataukah “anti” demokrasi.
Budaya politik, menurut Almond dan Verba, merupakan sikap individu terhadap sistem dan komponenkomponenya, dan juga sikap inividu terhadap peranan yang dimainkan dalam sistem politik.9 Singkatnya, budaya politik tidak lain daripada orientasi psilogis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik.10 Positif atau negatif sikap seseorang terhadap sistem politik yang berkembang menuju kondisi demokratis, adalah tergantung pada corak orientasi budaya politik yang dimilikinya.
Budaya politikb suatu masyarakat dengan sendirinya bekembang dipengaruhi oleh kompleksitas nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar-nilai yang memungkinkan timbulnya kontakkontak di antara budaya politik suatu kelompok atau golongan, yang mungkin lebih cepat disebut “sub-budaya politik”, yang pada dasarnya merupakan proses dimana terjadi pengembangan budaya bangsa dalam proses itu.11
Berfungsinya budaya politik dengan baik sebagai budaya bangsa yang matang, menurut Alomond dan Verba, pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antar kebudayaan bangsa itu dengan struktur politiknya.12 Dengan demikian, semakin serasi budaya bangsa itu dengan sturktur politiknya, maka semakin matang pula budaya politik yang ada di dalam masyarakatnya.
Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi pandangan dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Di sini yang dimaksud dengan budaya politik yang dmokratis, menurut Almond dan Verba, adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap,norma, persepsi dan sejenisnya, yang mendorong terwujudnya partisipasi.13 Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antar budaya politik denan demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.
Adanya gambaran perwujudan sifat demokratis atau tidak dari budaya politik yang berkembang di dalam suatu masyarakat, dengan demikian tidak hanya dapat dilihat dari interaksi antar individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interkasi antar individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, bahwa budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dengan struktur politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu.
Jadi, disamping orientasi terhadap sistem atau struktur politik, menurut Almond dan Powell, terdapat lagi aspek lain dari budaya politik yang berkaitan dengan pandangn dan sikap invidu dalam masyarakat sebagai sesama warga negara. Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan “rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility) yang terdapat antar warga negara yang satu dengan warga negara lainnya atau antar golongan yang satu dengan golongan lainnya dengan masyarakat.14
Perasaan-perasaan atau perilaku individual tersebut merupakan budaya politik mungkin terlihat pada pandangan dan sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada disekitarnya dalam bentuk kualitas politik yang sering kita temukan yaitu konflik dan kerjasama.15 Kemampuan untuk menciptakan keseimbangan antara konflik dan konsensus secara beradab, melalui prosedur yang tersedia, karena itu, juga dapat menjadi dasar penilaian dalam melihat potensi budaya politik demokratis yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan.
Konteks
Indonesia
Berbicara tentang budaya politik yang demoktratis dalam konteks masyarakat Indonesia, dengan demikian kiranya jelas gambarannya bahwa masalah yang harus diperhatiakn amat terkait dengan persoalan latar belakang “subbudaya etnik dan daerah” yang berkembang yang bersifat majemuk.16 Dengan keanekaragaman latar berlakang itu, maka kondisinya sudah pasti membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa Indonesia sendiri.
Kemungkinan dalam interaksi antar sub-budaya politik yang majemuk itu adalah terjadinya jarak tidak hanya antar budaya politik budaya daearh dan etnik yanga ada satu dengan lainnya, tetapi juga antar budaya politik pada tingkat nasional dengan budaya politik tingkat daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol didominasi oleh pandangan dan sikap antar sub-sub budaya politik yang saling berinteraksi, maka di tingkat daerah yang mungkin berkembang adalah “sub-budaya politik” yang lebih kuat dalam arti primordial.17
Studi tentang budaya politik yang mengungkapkan adanya perbedaan ciri secara primordial mengenai setiap daerah dan etnik tertentu di Indonesia, kiranya telah banyak dilakukan oleh para ahli. Untuk menyebut beberapa nama peneliti asing, dapat dicatat antara lain Donald K. Emerson,18 Benedict Andresson, 19 william Liddle,20 Harold Crouch21 dan berbagai penelti lainnya yang telah menghasilkan karya-karya terkenal mereka. Kelemahan yang terasakan dari berbagai penelitian yang ada adalah bahwa upaya untuk mengungkap hubungan antar budaya politik daerah (lokal) dengan demokratisasi itu sendiri dalam kerangka sistem politik secara nasional tampaknya belum banyak, jika tidak dikatakan belum ada, yang mencoba secara khusus untuk mendekatinya.
Suatu budaya politik nasional yang hendak dikembangkan oleh bangsa manapun didunia, termasuk Indonesia, adalah budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokarsi. Demokratisasi sebagai suatu proses pembangunan politik menuju penciptaan civic culture atau “budaya bangsa” yang matang secara demokrasi yang selama ini diharapkan dapat tercipta sebenarnya amat ditentukan oleh berkembangnya budaya politik derah yang kondusif ke arah cita-cita tersebut.
Karena itu, dalam rangka menjawab permasalahan tersebut, maka adanya upaya untuk mengindetifikasi budaya politik daerah yang berkolerasi positif maupun negatif dengan demokratisasi amat penting artinya, untuk mengetahui dan memahami tantangan dan prospek keberhasilan demokratisasi yang kini sedang dijalankan di negeri ini. Dengan demikian, masalah yang penting dijawab adalah apakah budaya politik yang berkembang di masyarakat itu pro atau anti demokrasi?
Memang, hal yang menarik untuk digarisbawahi bahwa pertanyaan mengenai ada atau tidaknya budaya politik demokratis di Indonesia kiranya telah banyak menjadi perdebatan selama ini. Berbagai pendapat yang diperoleh dari hasil pengamatan maupun penelitian yang masih terbatas mungkin membuat kesimpulan yang berbeda. Dua titik ekstrim dapat digeneralisasi. Pendapat pertama, di satu sisi menyatakan bahwa budaya politik demokratis tidak punya akar dalam masyarakat negeri ini. Sementara pendapat kedua, di sisi lain ada yang menyanggahnya. Masing-masing dapat saja menawarkan hasil temuan studi maupun pengamatan yang berbeda.
Pendapat yang lebih rasional dan hati-hati yang berupaya menengahi kedua titik ekstrim tersebut mungkin lebih tepat, bahwa disamping budaya anti-demokrasi, terdapat pula budaya atau benih-benih budaya yang demokratis yang berkembang dimasyarakat Indonesia. Dengan demikian, permasalahan pokoknya sesungguhnya mungkin lebih terletak pada konteks tingkatan budaya politik yang telah dicapai dalam masyarakat Indonesia, denga melihat setidaknya gejala dominan yang ditemukan dan variannya dalam kasus per kasus, serta kriteria-kriteria normatif demokrasi yang dijadikan acuan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Salah satu basis argumen bagi contoh pendapat yang menungkapkan bahwa di dalam budaya asli masyarakat Indonesia, demokrasi bukan merupakan “barang baru mengacu pada sistem nilai musyawarah-mufakat. Praktik demokrasi berdasarkan prinsip musyawarah-mufakat tersebut dianggap telah berlangsung sejak berabad-abad, sejak masyrakat hidup dalam sifat perkauman di zaman kerajaankerajaan, hingga kini seperti tampak masih berusaha diperthankan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. 22
Tradisi yang hidup dalam masyrakat pertanian tradisional ini, yang disebut juga tradisi berembung, bahkan sudah menjadi praktik yang terlembangkan dalam bentuk yang unik di berbagai daearh seperti kerapatan Nagari, Rembung Desa, Musyawarah Subak, dan forum-forum musyawarah masyarakat desa lainnya.23 Praktik demokrasi lainnya adalah tradisi pepe atau penyampaian pendapat (protes) yang dilakukan rakyat terhadap penguasa melalui aksi diam. Tradisi ini juga telah melembaga dalam kehidupan masyrakat jawa tradisional masa lalu.
Namun demikian, berbeda dengan pendapat yang positif yang dikemukakan di atas, di sisi lain ada juga pendapat yang tampaknya cukup dominan dalam wacana politik Indonesia, yang mengemukakan bahwa budaya politik demokratis tidak dikenal dalam masyarakat Indonesia. Berbagai ciri budaya yang ditampilkan sebagai penguat argumen pendukung tesis negatif ini, antara lain mengacu pada budaya masyarakat Indonesia, seperti feodalisme, klientalisme, primodalisme (suku, agama, ras, dan pengelompokan sosial lainnya yang dianut secara emosional), dan sebagainya. Dikatakan bahwa budaya anti-demokrasi ini telah mengakar sejak dulu dan masih bertahan / dipertahankan dalam berbagai praktik kehidupan masyarakat hingga ini.
Gejala bertahannya budaya antidemokrasi tersebut dapat dilihat terutama dalam interaksi antara rakyat dengan penguasa atau antara bawahan dan atasan, baik pada lembaga birokrasi tradisional maupun modern di segala level. Budaya ini dianggap sebagai warisan masa lalu yang telah berkembang sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang kemudian dipupuk dan dilestarikan oleh penguasa kolonial demi kepentingan mempertahankan penjajahan, namun berlanjut dan bahkan sengaja dilestarikan oleh penguasa birokrasi pemerintah di Indonesia hingga sekarang.
Perbenturan pendapat antara dua pendukung tesis pendapat di atas telah muncuk sejak awal kemederdekaan negeri ini di masa lalu, pada saat dimana ketika itu sedang diperdebatkan konsep dasar bagi proses penataan sistem politik Indonesia pasca-klonial. Dalam proses perdebatan tersebut, timbul perbedaan pandangan di kalangan elit poilitik mengenai sistem politik yang dianggap sesuai dengan budaya Indonesia. Cermin perbedaan ini tampak terutama dalam sosok Hatta dan Seokarno. Kedua pemimpin memiliki prsepsi yang berbeda mengenai demokrasi. Dalam konteks kelembagaan, corak sistem demokrasi parlementer seperti yang tampak pada tahun 1949 hingga 1950-an merupakan reprentasi cita-cita Bung Hatta, sedangkan Demokrasi Terpimpin seperti dipraktikkan pada tahun 1959 hingga pertengahan 1960- an, adalah cerminan cita-cita penggasnya, Seokarno.
Kedua sistem politik (Demokrasi Libera dan Demokrasi Termpinpin) yang pernah dilalui dalam sejarah bangsa Indonesia tersebut, oleh banyak penilian, dibedakan secara krusial sebagai periode demokrasi dan otoritarisme. Dalam konteks budaya politik, di satu pihak periode Demokrasi Parlementer yang disokong oleh Bung Hatta tersebut oleh Soekarno dipandang sebagai cerminan praktik demokrsi berdasarkan budaya Barat, sementara di sisi lain praktik Demokrasi Terpimpin yang oleh Seokarno diklaim sesuai dengan asli Indonesia dikritik tajam oleh Bung Hatta merupakan cerminan budaya feodal dan otoriter atau anti-demokrasi. Dari sini tampak ambivalensi pemahaman diantara kedua pemipin bangsa tersebut, yang mungkin dapat dianggap merepresentasikan pembelahan pandangan kebanyakan elit Indonesia pula mengenai makna budaya politik yang hendak dibentuk dalam masyarakat Indonesia.
Perubahan dari Orde Lama (era Demokrasi Terpimpin) ke Orde Baru pun pada dasarnya merpakan pergantian rezim. Era Orde Baru tidak lain hanya merupakan lanjutan dan peyempurnaan dari model sistem politik Orde Lama. Budaya politik yang dikembangkan pun tidak jauh berbeda. Ciri otoritarian malahan kian menonjol. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, apa yang dianggap sebagai warisan budaya feodal jawa dilembagakan dalam hubungan antara rakyat dengan penguasa. Sistem politik Orde Baru tidak hanya dianggap sebagai cerminan budaya feodal yang pernah dipraktikkan pada zaman kekuasaan rajaraja Jawa (Mataram) di masa lalu, namun bahkan lebih jauh juga dianggap kelanjutan dai sistem birokrasi zaman klonial Belanda. Oleh rezim Soeharto, sistem politik tersebut juga diklaim sebagai sistem yang sesuai dengan budaya asli Indonesia yang disebutnya sebagai Sistem Demokrasi Pancasila yang murni.
Namin demikian, dalam perkembangannya, dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru setelah berkuasa selama lebih dari 32 tahun di bawah kepemimpinan otoritarian rezim Soeharto, bagaimanapun telah menciptakan implikasi yang amat “radikal” terhadap kehidupan politik Indonesia. Budaya politik Indonesia kembali dipertanyakan dalam kaitannya dengan tuntutan demokrasi yang mencaut ke permukaan. Jika dilihat dari segi sejarah, konteks perubahan politik tersebut secara artifisial mungkin untuk dinyatakan sebagai proses transfromasi sistem politik yang keempat dalam perjalanan panjang yang telah dilalui oleh negeri ini sejak kemerdekaan (1945), setelah pengalaman Demokrasi Parlementer (1949-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) yang jargonistik.
Apa sebutan simbolik bagi sistem politik baru yang kini sedang dalam pencairan format kekhususannya itu, untuk berbeda atau dibedakan dengan karateristik sistem-sistem politik yang pernah ada sebelumnya? Apakah perlu untuk memproklamirkan pula eksitensi dan identitasnya secara eksklusif dengan menambahkan embel-embel tertentu di belakang kata demokrasi yang hendak diwujudkannya? Tampaknya hingga dewasa ini belum ada sebutan yang disepakati bersama kalangan elit.
Istilah yang digunakan di sana-sini baru sebatas sebutan formal terhadap kabinet pemerintah, seperti Kabinet Reformasi Pembangunan di masa Presiden BJ Habibie, dan selanjutnya Kabinet Persatuan Nasional di era Presiden KH. Abdurrahman Wahid; dan Kabinet Gotong Royongi di era Presiden Megawati Soekarnoputri; dan Kabinet Indonesia Bersatu di era Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY).
Menandai gambaran perbuhan politik tersebut, sebagaimana lazimnya tindakan yang dilakukan oleh sebuah rezim penguasa yang baru, terjadi retrukturisasi kelembagaan politik dan revisi produk hukum. Misalnya, dalam hal revisi produk hokum, antara lain lahir dari UU Partai Politik, UU Pemilu; UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD; UU tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah; dan sebagainya. Di samping itu, dalam konteks pembaharuan kelembagaan terbentuk pula lembaga-lembaga baru seperi Komite Ombudsman, Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK), dan berbagai insitusi lainnya.
Terjadinya perubahan sistem politik tersebut pada dasarnya merupakn respons pemerintah pasca Orde Baru (pemerintah era Reformasi) terhadap tuntutan dan asipirasi demokrasi. Kita ketahui bahwa gejolak masyarakat yang terutama dipicu oleh gerakan kaum terdidik (khususnya mahasiswa) sebagai lapisan kelas menengah (middle class), telah menimbulkan dampak perubahan siginifikan terhadap format sistem format politik. Karena itu, maka tuntutan untuk melakukan reformasi terhadap sistem politik dan kenegaraan tersebut pada dasarnya merupakan kehendak umum atau harapan umum dimana masyarakat berkepentingan atas terciptanya kehidupan politik yang lebih baik dari pada di masa lalu, yaitu suatu sistem yang benar-benar terbuka dan demokratis.
Inisiatif perubahan itu tentu saja tidak berarti harus ditafsirkan sepihak semata adalah sepenuhnya dipicu oleh tuntutan masyarakat. Bagaimanapun, adanya keinginan pemerintah yang berkuasa juga menentukan setidaknya pada tingkat responsibilitas dan rasionalisasi dimana tuntutan rakyat itu dengan segera ditangkap dan diterjemahkan kedalam berbagai kebijakan umum (public policy) yang reformatif. Dengan demikian, maka hubungan positif antara masyarakat dan pemerintah merupakan hubungan yang simbiotik idelaistis-mutualistik, sehingga perubahan itu mungkin terjadi secara asipiratif.
Namun demikian, ada sebuah persoalan yang mungkin amat menarik untuk kembali dipertanyakan dalam proses reformasi itu, yakni apakah dengan perubahan sistem politik sebagai realisasi tuntutan dan harapan demokratisasi tersebut telah diikuti atau diiring pula dengan adanya perubahan budaya politik (?). Bagaimanapun, hubungan antara perubahan formal yang terjadi pada level prosedural (kelembagaan) politik ini dalam kaitannya dengan perubahan substantif pada level budaya politik adalah amat siginifikan dipertanyakan; mengingat proses demokratisasi bukan semata merupakan perubahan sistem kelembagaan, tetapi juga perubahan pada tataran nilai-nilai politik.
Pemerintah Orde Baru di bawah rezim Soeharto di masa lalu, terlepas dari kelemahannya sebagai suatu sistem politik yang otoritarian, harus diakui telah berhasil menciptakan sistem politik yang kokoh. Sedemikian “berhasil” sistem politik menurut perspektif kepentingan rezim yang berkuasa ketika itu, sehingga proses pelembagaan politik (political institutionalization) yang diciptakan mampu membuahkan tingkat stabilitas yang amat maksimal bagi orientasi program pembangunan yang dijalankan.
Meminjam istilah Hutington, rezim Orde Baru Sepanjang era kekuasannya yang panjang ketika itu berhasil menciptakan sautu tertib politik (political order) yang amat dibutuhkan melalui pelembagaan partisipasi politik dengan tujuan untuk menciptakan kestabilan politik pembangunan.24 Keberhasilan itu bahkan lebih jauh telah menjadi penyangga (buffer) terhadap rezim dalam upayanya untuk tetap mempertahankan stanza quo¸termasuk dalam hal proses pengendalian kekuatan sosial dan politik.
Persoalan serius yang kemudian tampak terus diabaikan oleh rezim Orde Baru hingga keruntuhannya, dan juga oleh rezim pemerintah sebelumnya, baik di masa Demokrasi Parlementer maupun Orde Lama, adalah faktor budaya politik (political culture) yang justru amat sangat siginifikan dalam proses pelembagaan politik tersebut. Sistem politik yang berhasil dibangun tidak ditunjang pemberdayaan budaya politik yang demokratis yang seharusnya pada saat yang sama didorong perkembangannya secara akomodatif. Dalam kenyataanya, justru perilkau rezim yang berkuasa malah cenderung tetap mengembangkan dan mempertahankan pola budaya politik yang anti-demokratis, hingga akhirnya terjatuh sebagai akibat ambisi kekuasaanya itu sendiri.
Kini, dalam era reformasi, setelah keruntuhan rezim Orde Baru, barulah mungkin kita tersadar kembali akan kenyataan sejarah untuk kesekian kalinya terhadap semua kegagalan dalam memberi perhatian bagi pembangunan budaya politik yang demokratis. Rezim Orde Baru telah menjadi korban perilaku kekuasaan dan sistem politiknya sendiri. Biarlah pengalaman itu, dan juga pengalamanpengalaman beberapa pemerintahan yang pernah ada sebelumnya, menjadi pelajaran berharga bagi kita. Saatnya kini dimensi budaya politik mendapatkan perhatian yang lebih serius. Diharapkan perjalanan pemerintah kita tidak lagi terperangkap pada kekeliruan pembangunan politik seperti ”seekor keledai terantuk pada batu yang sama”.
Permasalahnnya yang penting untuk segera direspons adalah terletak pada tuntutan perubahan budaya politik di dalam masyarakat. Sebab, dari faktor tersebutlah kita akan dapat melihat sumbangan yang mungkin dapat diberikan oleh dimensi budaya politik terhadap demokratisasi kehidupan politik. Diakui, dalam era reformasi saat ini, arus mayarakat sipil telah menciptakan tekanan yang amat kuat terhadap pemerintah yang berkuasa agar benar-benar menujukkan political civil untuk membangun demokrasi, dan hal itu telah menggelinding sebagaimana terbukti dengan terjadinya penataan kelembagaan yang dibutuhkan bagi berkembangnya demokrasi.
Namun demikina, masalah krusial yang dihadapi adalah bahwa proses konsolidasi kelembagaan demokrasi itu tidak akan ada artinya tanpa ditunjang oleh berseminya atau berkembangnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat. Sejauh ini nampaknya perubahan politik yang terjadi sejak keruntuhan rezim Orde Baru tak lebih hanya merupakan perubahan pada tataran prosedural (instutisional) belaka. Perubahan itu cenderung lebih bersifat legalistik ketimbang substantif. Sistem politik yang berhasil dibangun baru sampai pada bentuk demokrasi semu (pseudo demokrasi); pada dasaraya tataran perubahan institusional yang sudah berlangsung tersebut belum ditunjang pula oleh terjadinya perubahan pada tataran budaya politik.
Untuk itulah, maka suatu upaya pembangunan budaya politik Indonesia yang kondusif dalam kaitannya dengan demokrasi atau demokratisasi amat penting untuk segera dievaluasi dan dikaji mendalam, sehingga dapat diketahui berbagai hambatan dan peluang yang sedang dihadapi dalam perubahan politik Indonesia yang sebenarnya.
Untuk tujuan tersebut, ada tigga masalah utam yang perlu dikaji, yaitu: pertama, hubungan antar budaya politik dan demokratiasi menurut persepsi budaya politik masyarakat lokal di negeri ini; kedua, identifikasi potensi budaya politik lokal antara yang pro atau anti demokrasi (demokratisasi); dan ketiga, rumusan kerangka acuan demokrasi yang diperoleh dari perspektif budaya lokal sebagai dasar bagi usaha membangun sistem demokrasi itu sendiri.
Dari jawaban yang diperoleh atas berbagai gambaran masalah budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia berdasarkan perspektif lokal itulah, suatu identifiksi dan upaya sistematis dapat dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat untuk memabangun sistem demokrasi yang sesuai dengan konteks politik Indonesia dengan mengacu kriteria-krietria demokrasi bersifat universal yang telah dipaparkan sebelumnya. Hal inilah yang kiranya menjadi tantangan serius yang mendesak untuk ditelusuri jawabannya oleh para akedimisi dan peneliti Indonesia dewasa ini.