Oleh : Konsii Kender, S.H. (Advokat)
Opini - Syarat calon kepala daerah, “tidak pernah melakukan perbuatan tercela” terus menjadi diskursus atau perdebatan di antara mereka yang pernah belajar Ilmu Hukum di perguruan tinggi hukum.
Menurut sebagian orang “tidak pernah melakukan perbuatan tercela” mengandung multi tafsir, tetapi ada sebagiannya lagi mengatakan bahwa isi hukumnya sudah sangat terang benderang. Namun menarik untuk dicatat bahwa bukan hukum namanya jika tidak melahirkan perdebatan hukum.
Berangkat dari fenomena itu, seorang ahli hukum Belanda mengatakan “sampai saat ini belum ada definisi yang tepat tentang hukum.” Tiga orang sarjana hukum bisa menghasilkan empat bahkan lebih pendapat hukum.
Saking banyaknya pendapat tentang hukum dan karena cakupan hukum itu memang sangat luas dan banyak seginya, sehingga ada seorang ahli hukum mendefinisikan hukum itu sebagai sesuatu yang tidak bisa didefinisikan.
Perdebatan hukum akan lebih bernilai apabila yang mendebatkan isi hukum itu melepaskan dirinya dari interest kepentingan politiknya. Tapi hal itu agak susah terwujud, karena memperdebatkan isi hukum yang di dalamnya mengandung nilai politik. Termasuk analisis hukum yang akan dikemukakan oleh penulis, juga tidak luput dari penilaian tersebut.
Hal itu sah-sah saja, tetapi sebagai seseorang yang pernah belajar Ilmu Hukum adalah haknya juga untuk memberikan analisis hukum sesuai dengan disiplin ilmu yang dipelajarinya. Syukur-syukur kalau akan menjadi pertimbangan hukum bagi pemangku kepentingan.
Syarat Tidak Pernah Sebagai Terpidana
Diskursus hari ini mungkin menjadi kurang menarik, jika Presiden tidak mengeluarkan PERPU Nomor 1 Tahun 2014 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mengatur pelaksanaan pilkada secara tidak langsung, dipilih oleh anggota DPRD.
Bersyukurlah karena pemerintah dan DPR tetap bersama rakyat yang menghendaki pemilihan kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyatnya. Suara rakyat tidak diwakilkan oleh DPRD untuk memilih pemimpinnya.
Pada Tahun 2015, PERPU Nomor 1 Tahun 2014 ini pun telah menjadi undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Kemudian dirubah lagi dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Dalam undang-undang pilkada tersebut secara jelas diatur bahwa setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota dengan beberapa ketentuan syarat.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menetapkan ada 19 syarat bagi seorang calon kepala daerah. Itu semuanya diatur dalam Pasal 7 ayat (2). Kesembilan belas syarat tersebut kurang lebih berisi tentang syarat moral, jenjang pendidikan hingga kecakapan (umur).
Tentu pembuat undang-undang mempunyai pertimbangan filosofis dan sosiologis dalam melahirkan kesembilan belas syarat tersebut, termasuk mempertimbangkan hak asasi manusia seseorang.
Dari sekian ketentuan syarat calon tersebut, yang paling seksi dan terus hangat dibicarakan adalah syarat yang berhubungan dengan kasus hukum.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Pasal 7 huruf g mensyaratkan bagi calon kepala daerah “tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.”
Dari ketentuan ini, jelas bisa dilihat bahwa semua calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana yang ancaman pidana lima tahun atau lebih tidak boleh sama sekali menjadi calon kepala daerah.
Secara a contrario, pasal ini menjelaskan bahwa terpidana yang ancaman hukumannya di bawah lima tahun boleh menjadi calon kepala daerah. Kecuali kalau ada keputusan hakim yang mencabut hak politiknya sebagai mana yang diatur dalam Pasal 7 huruf h undang-undang ini.
Dalam perubahan kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasal tersebut di atas telah dirubah dan diatur dalam Pasal 7 ayat 2 huruf g menjadi “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”Kata ‘atau’ dalam pasal ini telah menimbulkan ambigu: apakah ini menjadi alternatif, dalam pengertian kalau tidak memilih kalimat sebelum kata ‘atau’ maka pasti memilih kalimat setelah kata ‘atau’ yang tentu akibat hukum dari dua pilihan itu juga sangat jauh berbeda bagai langit dan bumi.
Atau apakah memang ayat ini merupakan alternatif dalam satu kesatuan pengertian. Satu kesatuan pengertian di sini maksudnya adalah bahwa bagi yang pernah menjadi terpidana boleh menjadi kepala daerah dengan syarat telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana dan jika syarat tidak dijalankan maka sang calon dapat digugurkan.
Kalau melihat perubahan pasal tersebut di atas, pembuat undang-undang memang menghendaki bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menjadi calon kepala daerah tanpa harus dibatasi oleh karena seseorang pernah menjadi terpidana.
Menempatkan hak asasi seseorang pada porsi yang paling tinggi. Sesorang berhak untuk memilih dan dipilih. Proses Screening dikembalikan kepada publik itu sendiri. Publik sendiri yang menentukan apakah seseorang layak atau tidak untuk menjadi kepala daerah dengan tetap mewajibkan kepada calon kepala daerah tersebut menyampaikan secara terbuka dan jujur kepada publik akan perbuatan pidana yang telah dilakukannya.
Akan tetapi, ada publik yang menganggap bahwa harus ada penitensi bagi mereka yang pernah melakukan perbuatan pidana tertentu. Kemudian melakukan Judical Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas pasal tersebut di atas.
Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian dari petitumnya, sehingga Pasal 4 ayat (2) huruf g tersebut berubah melalui keputusan Nomor 56/PUU-XVII/2019, menjadi: g. (i) tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa;
(ii) bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan (iii) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Secara a contrario bahwa terpidana yang diancam hukumannya di bawah 5 (lima) tahun, jenis tindak pidana apapun yang penting bukan terpidana dengan pelaku kejahatan berulang-ulang boleh menjadi calon kepala daerah dan tidak perlu menunggu jangka waktu lima tahun sejak bebas dari pemidanaannya.
Selain itu, juga tidak perlu secara terbuka dan jujur menyampaikan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.
Dari putusan MK ini, sangat jelas bahwa setiap calon kepala daerah yang pernah menjadi terpidana yang diancam hukuman pidana lima tahun atau lebih, tidak boleh menjadi calon kepala daerah.
Boleh menjadi calon kepala daerah dengan syarat: pertama, terpidana sudah melewati jangka waktu lima tahun sejak bebas; kedua, harus secara jujur dan terbuka menyampaikan kepada publik bahwa ia mantan terpidana dan ketiga, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan MK sifatnya final dan mengikat sehingga harus diilaksanakan dalam peraturan pelaksanaanya dan semuanya itu telah diatur dalam peraturan pelaksanaan yaitu
PKPU Nomor 1 Tahun 2020 dengan tambahan bukan mantan terpidana Bandar Narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak (Pasal 4 ayat (2) huruf h).
Diskursus Tidak Pernah Melakukan Perbuatan Tercela
Yang menjadi persoalan dari apa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pilkada adalah adanya ketentuan syarat larangan bagi yang pernah melakukan perbuatan tercela sebagaimana yang diatur dalam UU No 10 Tahun 2016 Pasal 7 ayat (2) huruf i.
Pasal ini telah memunculkan perdebatan yang lumayan panas, karena melahirkan ambigu dan multi tafsir. Bagaimana tidak melahirkan multi tafsir, karena perbuatan tercela sangat luas makna dan pengertiannya.
Kalau membolak balik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun dalam peraturan lex specialis, tidak akan ditemukan pasal yang mengatur tentang tindak pidana perbuatan tercela.
Sebenarnya semua perbuatan pidana adalah perbuatan tercela, karena setiap perbuatan pidana pasti mendapat celaan dari masyarakat. Jangankan perbuatan yang melanggar norma hukum pidana, yang melanggar norma hukum perdata atau melanggar norma kesopanan, norma agama, norma adat pun pasti mendapat celaan dari masyarakat.
Dalam penjelasannya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, perbuatan tercela terbatas pada judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina. Ini dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) sesuai apa yang diatur dalam batang tubuhnya. Keempat perbuatan tercela ini bisa dilihat bagaimana pengaturannya dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Judi merupakan perbuatan pidana yang diatur dalam Pasal 303 dan Pasal 303 bis KUHP yang ancaman hukumannya berbeda. Pasal 303 sebenarnya dikenakan bagi Bandar Judi atau usahanya judi dengan ancaman hukuman maksimal 10 tahun, sedangkan pasal 303 bis adalah bagi yang ikut judi dari fasilitas judi yang disediakan atau ikut serta judi di tempat umum atau pinggir jalan dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara.
Mabuk dalam KUHP diatur dalam Pasal 492 buku tiga sebagai tindak pidana pelanggaran. Mabuk bukan sebagai perbuatan pidana yang berdiri sendiri tetapi diikuti tindak pidana lainnya dengan ancaman pidana kurungan 6 (enam) hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah. Sedangkan perbuatan pidana berzinah merupakan delik aduan yang diatur dalam Pasal 284 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 9 bulan.
Perbuatan tercela pemakai/pengedar narkotika diatur dalam peraturan khusus yaitu UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. Ada dua pasal yang mengatur hukumannya yaitu Pasal 112 dan Pasal 127 dengan ancaman hukumannya berbeda. Pasal 112 ancaman hukuman minimalnya
4 (empat) tahun dan maksimal 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar.” Sedangkan, Pasal 127 ada penggolongan hukumannya berdasarkan jenis narkotika yang disalahgunakan dengan hukuman ada 1 tahun, ada yang 2 tahun dan ada yang 4 tahun, tergantung jenis narkotikanya. Pasal 112 ancaman di atas lima tahun sedangkan Pasal 127 ancaman hukumannya di bawah lima tahun.
Dari keempat perbuatan tercela di atas yang diatur lebih lanjut dalam PKPU Nomor 1 Tahun 2020 adalah hanya perbuatan tercela pemakai/pengedar narkotika. Itu diatur dalam Pasal 4 ayat (2e) dan (2f) “syarat bebas penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dikecualikan bagi pemakai narkotika karena alasan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2e) huruf a.”
Pengecualian pemakai narkotika ini juga berlaku bagi mereka yang secara mandiri dan atas keputusan pengadilan menjalankan rehabilitasi sebagaimana diatur ayat (2e) huruf b dan c dengan Surat Keterangan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
Sedangkan untuk tindak pidana judi, mabuk, dan berzinah tidak ada pengaturan lebih lanjut dalam PKPU. Kalau tidak diatur bagaimana cara membuktikan adanya tindak pidana tersebut. Padahal PKPU merupakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang pilkada. Maka di sinilah menimbulkan banyak penafsiran.
Kalau berdasarkan undang-undangnya adalah dengan keterangan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Persoalannya adalah tidak mungkin ada SKCK mencantumkan perbuatan tercela, karena perbuatan tercela merupakan kesimpulan penilaian terhadap sebuah peristiwa atau perbuatan pidana, bukan fakta hukum sebenarnya.
Yang dicantumkan dalam SKCK adalah fakta hukum atas pelanggaran pasal pidana dengan mencantum pasal pidana yang dilanggar, ancaman maksimal hukumannya, dan penjatuhan vonis hukumannya. Termasuk, apakah terpidana merupakan pelaku tindak pidana yang berulang-ulang atau tindak kejahatan sebagai Bandar narkoba atau kejahatan seksual terhadap anak.
Jikalau dalam keterangan SKCKnya adalah mantan Terpidana yang melakukan kejahatan dengan ancaman pidana maksimal 5 (lima) tahun atau lebih (ingat: ancamannya, bukan hukumannya), maka ditelitilah oleh KPUD, apakah sudah lewat lima tahun jangka waktunya dari sejak bebas penjara sampai pada hari pendaftaran (PKPU Pasal 4 ayat (2a) dan ayat (2d)).
Jika sudah lewat lima tahun maka yang bersangkutan sudah boleh menjadi calon kepala daerah tetapi tetap menjalankan ketentuan PKPU Pasal 4 ayat (1) huruf g yaitu, “bagi mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya wajib secara jujur dan terbuka mengemukakan kepada publik.” Kemudian diatur lagi lebih teknis di ayat (2b) dan (2c).
Bagi terpidana yang diancam hukumannya 5 (lima) tahun atau lebih tetapi belum lima tahun jangka waktu sejak bebasnya maka dengan otomatis gugur dan tidak bisa diproses lebih lanjut.
Demikian juga terhadap terpidana Bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak gugur dan tidak diproses lebih lanjut walupun ancaman hukumannya di bawah lima tahun.
Apabila dalam keterangan SKCK nya adalah mantan Terpidana yang melakukan kejahatan dengan ancaman pidana di bawah lima tahun maka tidak berlaku baginya harus menunggu jangka waktu 5 tahun sejak bebas penjara. KPUD hanya memberlakukan kepadanya PKPU Pasal 4 ayat (1) huruf g yaitu mengumumkannya kepada publik dan diatur lebih teknis lagi di ayat (2b) dan ayat (2c), meskipun ketentuan ini tidak diatur di dalam undang-undangnya.
Walaupun dalam keterangan SKCKnya dari ketentuan di atas sudah tidak ada masalah lagi, tetapi apabila terdapat dalam pemeriksaan kesehatan menunjukkan positif dalam penggunaan narkoba berdasarkan surat keterangan kesehatan dari team dokter yang terdiri dari dokter, ahli psikologi dan Badan Narkotika Nasional (BNN) (PKPU Pasal 4 ayat (1) huruf e), kecuali karena alasan kesehatan atau secara mandiri menjalani rehabilitasi dan rehabilitasi berdasarkan keputusan pengadilan dengan surat keterangan sudah selesai rehabilitasi maka calon kepala daerah yang bersangkutan bisa digugurkan dan tidak mengikuti proses selanjutnya.
Dari semua apa yang dijelaskan di atas bisa disimpulkan, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak menjadi calon kepala daerah dengan ketentuan syarat sebagai mana yang diatur dalam undang-undang. Termasuk mantan terpidana boleh menjadi calon kepala daerah, tetapi dengan syarat-syarat sebagai berikut:
Pertama, bagi terpidana yang ancamannya hukumannya lima tahun atau lebih, harus jangka waktu dari sejak bebas penjara sampai saat pendaftaran sudah lewat lima tahun, dengan harus mengumumkan kepada publik bahwa ia adalah mantan terpidana. Kalau belum lima tahun maka tidak dibolehkan.
Kedua, terpidana yang ancaman hukumannya di bawah lima tahun boleh menjadi calon kepala daerah dengan harus mengumumkan kepada publik bahwa ia adalah mantan terpidana, dan tidak harus menunggu jangka waktu lima tahun dari sejak bebas dari hukumannya.
Ketiga, bagi terpidana melakukan perbuatan tercela seperti judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika dan berzinah tetap terikat pada ketentuan pada ancaman hukuman. Apakah ancaman hukumannya lima tahun atau lebih atau ancaman hukumannya di bawah lima tahun sehingga berlaku syarat menunggu jangka waktu lima tahun sejak dibebaskan.
Kecuali pemakai/pengedar narkotika selain terikat dengan ketentuan tersebut juga terikat dengan keterangan dokter positif/tidak menggunakan narkotika dengan segala pengecualiannya.
Keempat, kecuali bagi pelaku kejahatan berulang-ulang, Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan mereka yang hak politiknya dicabut berdasarkan keputusan pengadilan dilarang menjadi calon kepala daerah.
Hukum menurut Grotius merupakan perbuatan tentang moral yang menjamin keadilan. Salah satu ciri dari negara hukum adalah terjaminnya hak-hak orang dalam undang-undang atau peraturan pengadilan. Termasuk hak untuk memilih dan dipilih dalam jabatan politik.
Sementara pemidanaan merupakan proses pertobatan diri supaya bisa kembali ke masyarakat menjadi orang baik dan dapat diterima oleh masyarakat. Mencari pemimipin melalui mekanisme screening atau penyaringan dalam peraturan perundang-undangan yang kaku dan sangat ketat akan berpotensi terhadap pelanggaran hak asasi manusia seseorang. Oleh sebab itu biarkanlah rakyat sendiri yang men-screening siapa pemimpinnya.*