Hukum Perdata Formal umumnya suatu peraturan pelaksanaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di dalam masyarakat atau yang biasa disebut dengan hukum positif.
Hukum Acara Perdata merupakan Hukum Perdata Formal adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan sanksi hukuman terhadap para pelanggar hak-hak keperdataan sesuai dengan hukum perdata materiil dan mengandung sanksi yang sifatnya memaksa. dalam hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPer).
Dalam praktiknya, KUHAPer mengatur hanya mengenai perkara perdata. Yang dimaksud dengan perkara perdata adalah suatu perkara yang terjadi antara pihak satu dengan pihak lainnya dalam hubungan keperdataan. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia menyatakan definisi perkara perdata, yaitu : "Perkara perdata adalah meliputi baik perkara yang mengandung sengketa (contentiosa) maupun yang tidak mengandung sengketa (voluntair)"
Perkara Perdata yang mengandung sengketa biasanya disebut dengan "gugatan" (contentiosa), dan perkara perdata yang tidak mengandung sengketa biasa disebut dengan "permohonan".
1. PERBEDAAN GUGATAN DAN PERMOHONAN
Gugatan merupakan suatu tuntutan hak yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat melalui Pengadilan. Suatu gugatan yang diajukan Penggugat agar dapat diterima oleh Pengadilan haruslah mempunyai alasan-alasan yang mana salah satu alasan yang harus dipenuhi adalah adanya pelanggaran hak dan telah merugikan Penggugat.
Berbeda dengan Permohonan penetapan hak yang tidak mengandung sengketa yang berada dalam yuridiksi voluntair berdasarkan Pasal 5 ayat (3) huruf a UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan untuk menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
Pengajuan permohonan tuntutan hak dalam suatu perkara perdata berlaku asas poin d'interest, point d'action, atau tidak ada kepentingan, tidak ada tuntutan, yang artinya bahwa untuk mengajukan permohonan gugatan atau tuntutan terhadap hak yang telah dilanggar oleh pihak lain ke pengadilan, harus ada kepentingan dari pihak yang mengajukan untuk diselesaikan oleh hakim pengadilan sesuai dengan hukum positif yang berlaku.
Perbedaan Gugatan dan Permohonan dijelaskan sebagai berikut :
a. Pada perkara gugatan, hakim mendengarkan para pihak, baik penggugat maupun tergugat (asas audi at alteram partem). Sedangkan pad aperkara permohonan, hakim hanya mendengarkan keterangan dari satu pihak saja yaitu pemohon.
b. Pada perkara gugatan, hakim memeriksa alat bukti, baik dari pihak Penggugat maupun Tergugat. sedangkan dalam perkara permohonan hakim hanya memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan oleh pemohon.
c. Pada Perkara Gugatan ada tahap jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan. Sedangkan Perkara Permohonan, tidak mengenal tahap jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan.
d. Keputusan Hakim atas Perkara Gugatan mengenal diktum, baik yang bersifat deklaratoi, constitutif, maupun condemnatoir. Sedangkan pada perkara permohonan, diktumnya hanya bersifat deklaratoir.
e, Pada Perkara Gugatan dikenal asas nebis in idem, sedangkan dalam Perkara Permohonan tidak mengenal asas tersebut.
2. ALASAN MENGAJUKAN GUGATAN
Alasan diajukannya gugatan di Pengadilan Negeri ternagi menjadi dua jenis, yaitu dengan menggunakan Gugatan Ingkar Janji atau biasa disebut dengan Wanprestasi, dan/atau Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) biasa disebut dengan Onrechmatige daad
Wanprestasi adalah keadaan dimana kreditur maupun debitur tidak/lalai melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berbunyi : " Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetapi lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan "
Berdasarkan Pasal tersebut, dapat diketahui bahwa unsur-unsur wanprestasi adalah :
a. Ada perjanjian oleh para pihak
b. Ada pihak melanggar atau tidak melaksanakan isi perjajian yang sudah disepakati
c. Sudah dinyatakan lalai tetapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi perjajian
Subekti menjelaskan juga bahwa seseorang dapat dikatakan wanprestasi atau lalai apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. Melaksanakan sesuatu, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat (telah kedaluwarsa)
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) bisa terjadi di ranah hukum pidana, maupun hukum perdata. Dalam tulisan ini yang dimaksud PMH adalah yang dalam ranah Hukum Perdata. Menurut Munir Fuady, PMH adalah sebagai suatu kesimpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atau suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.
PMH diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi : " Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut "
Dahulu PMH hanya terbatas pad aperbuatan yang melanggar Undang Undang tertulis saja. Namun sejak tahun 1919, Hoge Raad Belanda dalam Perkara Linden-baum V. Cohen memperluas penafsiran PMH sehingga perbuatan melawan hukum tidak lagi terbatas pada perbuatan yang melanggar Undang-undang tetapi juga mencakup salah satu perbuatan sebagai berikut :
a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain
b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
da. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dapat dipahami unsur-unsur PMH sebagai berikut :
a. Adanya suatu perbuatan
b. Perbuatan tersebut melawan hukum
c. Adanya kesalahan pihak pelaku
d. Adanya kerugian bagi korban
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Untuk memudahkan dan melihat perbedaan Wanprestasi dan PMH, dapat dilihat dalam tabel berikut :
Dalam praktiknya, KUHAPer mengatur hanya mengenai perkara perdata. Yang dimaksud dengan perkara perdata adalah suatu perkara yang terjadi antara pihak satu dengan pihak lainnya dalam hubungan keperdataan. Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, SH. dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia menyatakan definisi perkara perdata, yaitu : "Perkara perdata adalah meliputi baik perkara yang mengandung sengketa (contentiosa) maupun yang tidak mengandung sengketa (voluntair)"
Perkara Perdata yang mengandung sengketa biasanya disebut dengan "gugatan" (contentiosa), dan perkara perdata yang tidak mengandung sengketa biasa disebut dengan "permohonan".
1. PERBEDAAN GUGATAN DAN PERMOHONAN
Gugatan merupakan suatu tuntutan hak yang diajukan oleh Penggugat kepada Tergugat melalui Pengadilan. Suatu gugatan yang diajukan Penggugat agar dapat diterima oleh Pengadilan haruslah mempunyai alasan-alasan yang mana salah satu alasan yang harus dipenuhi adalah adanya pelanggaran hak dan telah merugikan Penggugat.
Berbeda dengan Permohonan penetapan hak yang tidak mengandung sengketa yang berada dalam yuridiksi voluntair berdasarkan Pasal 5 ayat (3) huruf a UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan untuk menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
Pengajuan permohonan tuntutan hak dalam suatu perkara perdata berlaku asas poin d'interest, point d'action, atau tidak ada kepentingan, tidak ada tuntutan, yang artinya bahwa untuk mengajukan permohonan gugatan atau tuntutan terhadap hak yang telah dilanggar oleh pihak lain ke pengadilan, harus ada kepentingan dari pihak yang mengajukan untuk diselesaikan oleh hakim pengadilan sesuai dengan hukum positif yang berlaku.
Perbedaan Gugatan dan Permohonan dijelaskan sebagai berikut :
a. Pada perkara gugatan, hakim mendengarkan para pihak, baik penggugat maupun tergugat (asas audi at alteram partem). Sedangkan pad aperkara permohonan, hakim hanya mendengarkan keterangan dari satu pihak saja yaitu pemohon.
b. Pada perkara gugatan, hakim memeriksa alat bukti, baik dari pihak Penggugat maupun Tergugat. sedangkan dalam perkara permohonan hakim hanya memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan oleh pemohon.
c. Pada Perkara Gugatan ada tahap jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan. Sedangkan Perkara Permohonan, tidak mengenal tahap jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan.
d. Keputusan Hakim atas Perkara Gugatan mengenal diktum, baik yang bersifat deklaratoi, constitutif, maupun condemnatoir. Sedangkan pada perkara permohonan, diktumnya hanya bersifat deklaratoir.
e, Pada Perkara Gugatan dikenal asas nebis in idem, sedangkan dalam Perkara Permohonan tidak mengenal asas tersebut.
2. ALASAN MENGAJUKAN GUGATAN
Alasan diajukannya gugatan di Pengadilan Negeri ternagi menjadi dua jenis, yaitu dengan menggunakan Gugatan Ingkar Janji atau biasa disebut dengan Wanprestasi, dan/atau Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) biasa disebut dengan Onrechmatige daad
Wanprestasi adalah keadaan dimana kreditur maupun debitur tidak/lalai melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), berbunyi : " Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetapi lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan "
Berdasarkan Pasal tersebut, dapat diketahui bahwa unsur-unsur wanprestasi adalah :
a. Ada perjanjian oleh para pihak
b. Ada pihak melanggar atau tidak melaksanakan isi perjajian yang sudah disepakati
c. Sudah dinyatakan lalai tetapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi perjajian
Subekti menjelaskan juga bahwa seseorang dapat dikatakan wanprestasi atau lalai apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b. Melaksanakan sesuatu, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat (telah kedaluwarsa)
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) bisa terjadi di ranah hukum pidana, maupun hukum perdata. Dalam tulisan ini yang dimaksud PMH adalah yang dalam ranah Hukum Perdata. Menurut Munir Fuady, PMH adalah sebagai suatu kesimpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atau suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.
PMH diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi : " Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut "
Dahulu PMH hanya terbatas pad aperbuatan yang melanggar Undang Undang tertulis saja. Namun sejak tahun 1919, Hoge Raad Belanda dalam Perkara Linden-baum V. Cohen memperluas penafsiran PMH sehingga perbuatan melawan hukum tidak lagi terbatas pada perbuatan yang melanggar Undang-undang tetapi juga mencakup salah satu perbuatan sebagai berikut :
a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain
b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri
c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
da. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dapat dipahami unsur-unsur PMH sebagai berikut :
a. Adanya suatu perbuatan
b. Perbuatan tersebut melawan hukum
c. Adanya kesalahan pihak pelaku
d. Adanya kerugian bagi korban
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Untuk memudahkan dan melihat perbedaan Wanprestasi dan PMH, dapat dilihat dalam tabel berikut :
Ditinjau Berdasarkan
|
Wanprestasi
|
Perbuatan Melawan Hukum
|
Sumber Hukum
|
a. Pasal 1238, 1239, 1243 KUH Perdata
b. Timbul dari Persetujuan/Perjanjian
|
a. Pasal 1365 sd 1380 KUH Perdata
b. Timbul akibat perbuatan orang
|
Unsurnya
|
a. Ada Perjanjian oleh para pihak
b. Ada pihak melanggar atau tidak melaksanakan isi perjanjian yang
sudah disepakati
c. Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi
perjanjian
|
a. Adanya suatu perbuatan
b. Perbuatan tersebut Melawan Hukum
c. Adanya kesalahan pihak pelaku
d. Adanya kerugian bagi korban
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian
|
Timbulnya Hak Menuntut
|
Hak menuntut ganti rugi dalam wanprestasi muncul dari Pasal 1243 KUH
Perdata, yang pada prinsipnya membutuhkan pernyataan lalai (somasi)
|
Hak menuntut ganti rugi dalam PMH tidak perlu peringatan lalai. Kapan
saja terjadi PMH, pihak yang merasa dirugikan berhak langsung menuntut ganti
rugi
|
Pembuktian dalam Gugatan
|
Penggugat cukup menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya perjanjian
yang dilanggar
|
Penggugat harus mampu membuktikan semua unsur PMH terpenuhi selain
itu mampu membuktikan adanya kesalahan yang dibuat debitur
|
Tuntutan Ganti Rugi
|
a. KUH Perdata sudah mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti
rugi yang dapat di tuntut, serta jenis dan jumlah ganti rugi yang dapat di
tuntut dalam wanprestasi
b. Gugatan Wanprestasi tidak dapat menuntut pengembalian pada keadaan
semula (restitutio in integrum)
|
a. KUH perdata tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti
rugi. Sehingga dapat menggugat kerugian materiil dan imateriil
b. Dapat menuntut pengembalian pada keadaan semula.
|
3. CARA MENGAJUKAN GUGATAN
Cara mengajukan permohonan atau Gugatan ke Pengadilan Negeri kepada tergugat berdasarkan Het Herzeine Indonesischs Reglement (Reglemen Indonesia yang Diperbaharui). Secara garis besar Pasal 118 HIR / 142RBg mengatur mengenai kompetensi relatif suatu permohonan atau gugatan tersebut, yaitu :
a. Gugatan Perdata pada tingkat pertama yang termasuk wewenang Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat kediaman yang sebenarnya.
b. Apabila Tergugat lebih dari satu orang diajukan di temapat tinggal salah satunya sesuai pilihan Penggugat.
c. Jika tidak dikenal tempat tinggal dan kediaman Tergugat diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal Penggugat atau salah seorang Penggugat.
d. Jika objeknya benda tetap (benda tidak bergerak) maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi benda tetap itu berada. Jika benda tetap itu berada di beberapa daerah hukum Pengadilan Negeri maka gugatan diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri menurut pilihan Penggugat
e. Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih maka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut, ataupun Penggugat kalau ia mau dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut.
Pengajuan Gugatan diawali dengan pembuatan gugatan. Tata cara pengajuan gugatan pada prinsipnya sebagai berikut :
a. Ditujukan kepada Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatif
b. Diberi tanggal
c. Ditandatangani Penggugat / Kuasa
d. Identitas para pihak
e. Fundamentum petendi atau dasar gugatan atau dasar tuntutan, yang tidak hanya cukup merumuskan Peristiwa Hukum yang menjadi dasar tuntutan , tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya Peristiwa hukum tersebut.
f. Petitum gugatan, yang berisi pokok tuntutan Penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan Penggugat yang harus dinyatakan atau dibebankan kepada Tergugat.
Mengacu pada Pedoman Teknis Administrasi dan teknis Peradilan, Buku II, Edisi 2007, prosedur pengajuan gugatan adalah sebagai berikut :
a. Gugatan diajukan secara tertulis yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasasnya yang sah (dalam hal ini harus Advokat) dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
b. Penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri; Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan agar Gugatan tersebut dicatat (pasal 120 HIR, Pasal 144 RBg)
c. Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, Kemudian diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register setelah Penggugat membayar panjar bkiaya perkara yang besarnya ditentukan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 121 HIR, Pasal 145 RBg).
4. PEMERIKSAAN DI PENGADILAN
Tahap persidangan yang dilakukan setelah mediasi adalah jawab menjawab Atas guagatan Penggugat, Tergugat mengajukan jawaban (baik disertai eksepsi dan rekonvensi atau tidak). Atas jawaban Tergugat, Penggugat mengajukan replik dan akan dibalas Tergugat dengan duplik.
Setelah proses jawab menjawab selesai, hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti dilanjutkan dengan tahap pengajuan kesimpulan. Tahap terakhir dalam sidang tingkat peradilan pertama (Pengadilan Negeri) adalah tahap pembacaan putusan hakim dan eksekusi putusan pengadilan terhadap pihak yang dikalahkan.
5. MEDIASI
Pada suatu perkara gugatan, selalu dikenal apa yang dinamakan dengan mediasi, dalam hal ini pengadilan memiliki kewajiban untuk mendamaikan para pihak terlebih dahulu. Secara teknis, mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
6. EKSEPSI, KONVENSI, DAN REKONVENSI
Sejalan dengan Hak Penggugat untuk mengajukan gugatan/tuntutan, Seorang Tergugat diberikan pula hak untuk mengajukan bantahan terhadap gugatan, bantahan mana dapat diajukan melalui :
a. Eksepsi
Eksepsi adalah tangkisan Tergugat atas Surat gugatan Penggugat, baik yang bersifat prosesuil maupun materiil. Beberapa jenis eksepsi disebutkan sebagai berikut :
Eksepsi prosesuil, antara lain :
(1). Eksepsi terkait kompetensi absolut Pengadilan Negeri
(2). Eksepsi terkait kompetensi relatif Pengadilan Negeri :
(a). Eksepsi di luar eksepsi kompetensi, antara lain :
1). Eksepsi terhadap surat kuasa khusus yang tidak sah.
2). Eksepsi cacat subjek pada gugatan (error in personal)
3). Eksepsi nebis in idem, yaitu eksepsi bahwa perkara telah diajukan untuk kedua kalinya atau berulang kali padahal perkara tersebut telah ditolak pada putusan sebelumnya.
4). Eksepsi obscuur libel, yaitu eksepsi bahwa gugatan Penggugat tidak terang, atau isinya gelap.
(b). Eksepsi materiil, antara lain :
1). Exceptio dilatoria, yaitu eksepsi bahwa gugatan Penggugat masih prematur.
2). Exceptio permptoria, yaitu eksepsi yang bermaksud untuk menyingkirkan gugatan, antara lain :
b. Konvensi
Konvensi, yaitu jawaban Tergugat atas pokok / fundamentum petendi gugatan Penggugat. Dasar hukumnya adalah Pasal 121 ayat (2) HIR / Pasal 145 ayat (2) RBg yang menentukan bahwa Tergugat dapat menjawab Gugatan, baik secara tertulis maupun lisan.
Pengajuan Konvensi atau jawaban atas pokok perkara ini dapat dibarengi dengan eksepsi dan/atau rekonvensi atau tidak. Konvensi dapat dilakukan dalam bentuk tiga hal, yaitu :
(1). Pengakuan, baik atas sebagian atau seluruh gugatan
(2). Membantah dalil Gugatan, mengenai :
a). Bantahan atas kebenaran dalil gugatan
b). Bantahan atas kejadian atau fakta
c). Melumpuhkan kekuatan pembuktian
(3). Tidak memberikan pengakuan atau bantahan.
c. Rekonvensi
Rekonvensi, yaitu gugatan balik dari Tergugat kepada Penggugat, yang diajukan bersama-sama dengan jawaban (baik disertai dengan eksepsi maupun tidak)
7. PENYITAAN
Penggugat yang gugatannya dikabulkan dapat memohonkan penyitaan atas terkabulnya gugatan Penggugat. Berikut jenis penyitaan yang dapat dimohonkan Penggugat pada majelis hakim Pengadilan Negeri :
a. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)
Diatur dalam Pasal 227 jo. Pasal 197 HIR, Pasal 261 jo. Pasal 208 RBg, yang inti sari pengaturannya adalah :
(1). Harus ada sangka yang beralasan, bahwa Tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan, ia mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya itu.
(2). Barang yang disita itu adalah kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik Penggugat
(3). Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan
(4). Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis
(5). sita ini dapat dilakukan atau diletakkan terhadap barang bergerak atau tidak bergerak
b. Sita Revindikasi (Revindocatoir Beslag)
Revindocatoir beslag yang diatur dalam Pasal 226 HIR dan Pasal 260 RBg memiliki pengertian bahwa "Penyitaan untuk mendapatkan hak kembali". Maksudnya agar barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung. Ketentuan penyitaan revindocatoir beslag adalah :
(1). Harus barang bergerak
(2). Narang bergerak tersebut adalah barang milik Penggugat yang berada ditangan Tergugat
(3). Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara
(4). Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama, terperinci.
c. Sita Marital (Marital Beslag)
Diatur dalam Pasal 823 Rv, sita marital dimohonkan oleh pihak istri terhadap barang-barang milik suami, baik barang bergerak atau tidak bergerak
8. PEMBUKTIAN
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.Pasal 163 HIR / 283 RBg mengatakan setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu yang diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Alat-alat bukti menurut Pasal 284 RBg / 164 HIR / 1866 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Surat
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Selain itu terdapat beberapa alat bukti lain, yaitu :
a. Keterangan ahli (Pasal 154 HIR/Pasal 181 RBg)
b. Pemeriksaan setempat atas objek sengketa berupa tanah (Suarat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat)
c. Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya (Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019)
9. PUTUSAN HAKIM
Pasal 185 ayat (1) HIR membedakan antara putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir. Jenis putusan sela diatur dalam Pasal 48 Rv, yaitu :
a. Putusan praeparatoir ialah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mmepunyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir.
b. Putusan interlocutoir ialah putusan-putusan yang isinya memerintahkan pembuktian.
c. Putusan insidental ialah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
d. Putusan provisional ialah putusan yang menjawab tuntutan provisional, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.
Putusan akhir ialah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu. Sifat putusan-putusan akhir dapat dibedakan antara lain :
a. Putusan Condemnatoir ialah putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi
b. Putusan Constitutif ialah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum
c. Putusan Declaratoir ialah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.
10. EKSEKUSI PENGADILAN
Ketentuan tentang melaksanakan putusan hakim diatur dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 208 HIR. Beberapa jenis pelaksanaan putusan, yaitu :
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBg)
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg)
c. Eksekusi riil yang merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung
11. UPAYA HUKUM
Sudikno Mertokusumo mendefinisikan upaya hukum sebagai upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Secara teori upaya hukum terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
a. Upaya Hukum Biasa
(1). Perlawan (Verzet)
Perlawanan merupakan upaya hukum yang dilakukan Tergugat terhadap putusan verstek, yaitu putusan putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya Tergugat (Pasal 125 ayat (3) jo. Pasal 129 jo. Pasal 149 HIR jo. Pasal 153 RBg)
(2). Banding
Bagi Penggugat yang dikalahkan berdasarkan putusan verstek (diluar kehadiran Penggugat) terbuka upaya hukum banding berdasarkan Pasal 8 ayat (4) UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulang atau Pasal 200 RBg. UU No. 20 Tahun 1947 merupakan peraturan yang dipergunakan untuk mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi.
(3). Kasasi
Putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Peraturan yang dapat dirujuk terkait upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yaitu UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UU No 3 Tahun 2009.
b. Upaya Hukum Luar Biasa
(1). Perlawan Pihak Ketiga (Derden Verzet)
Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap sita eksekutorial. Dalam hal ini, pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan ketika hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan. Dasar hukum perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 378 Rv.
(2). Peninjauan Kembali
Pasal 24 ayat (1) UU Republik Indonesia No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam UU.
Selain UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, peraturan yang perlu dirujuk terkait dengan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung adalah UU Republik Indonesia No 14 Tahun 1985 tentang MA sebagaimana telah diuabh terakhir dengan UU Republik Indonesia No 3 Tahun 2009.
d. Jika objeknya benda tetap (benda tidak bergerak) maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi benda tetap itu berada. Jika benda tetap itu berada di beberapa daerah hukum Pengadilan Negeri maka gugatan diajukan kepada salah satu Pengadilan Negeri menurut pilihan Penggugat
e. Jika ditentukan dalam perjanjian (akta) ada tempat tinggal yang dipilih maka gugatan diajukan di tempat tinggal yang dipilih tersebut, ataupun Penggugat kalau ia mau dapat mengajukan gugatannya kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal yang dipilih tersebut.
Pengajuan Gugatan diawali dengan pembuatan gugatan. Tata cara pengajuan gugatan pada prinsipnya sebagai berikut :
a. Ditujukan kepada Pengadilan Negeri sesuai dengan kompetensi relatif
b. Diberi tanggal
c. Ditandatangani Penggugat / Kuasa
d. Identitas para pihak
e. Fundamentum petendi atau dasar gugatan atau dasar tuntutan, yang tidak hanya cukup merumuskan Peristiwa Hukum yang menjadi dasar tuntutan , tetapi juga harus menjelaskan fakta-fakta yang mendahului peristiwa hukum yang menjadi penyebab timbulnya Peristiwa hukum tersebut.
f. Petitum gugatan, yang berisi pokok tuntutan Penggugat, berupa deskripsi yang jelas menyebut satu persatu dalam akhir gugatan tentang hal-hal apa saja yang menjadi pokok tuntutan Penggugat yang harus dinyatakan atau dibebankan kepada Tergugat.
Mengacu pada Pedoman Teknis Administrasi dan teknis Peradilan, Buku II, Edisi 2007, prosedur pengajuan gugatan adalah sebagai berikut :
a. Gugatan diajukan secara tertulis yang ditandatangani oleh Penggugat atau kuasasnya yang sah (dalam hal ini harus Advokat) dan ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
b. Penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan gugatannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan Negeri; Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan agar Gugatan tersebut dicatat (pasal 120 HIR, Pasal 144 RBg)
c. Gugatan disampaikan kepada Pengadilan Negeri, Kemudian diberi nomor dan didaftarkan dalam buku register setelah Penggugat membayar panjar bkiaya perkara yang besarnya ditentukan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 121 HIR, Pasal 145 RBg).
4. PEMERIKSAAN DI PENGADILAN
Tahap persidangan yang dilakukan setelah mediasi adalah jawab menjawab Atas guagatan Penggugat, Tergugat mengajukan jawaban (baik disertai eksepsi dan rekonvensi atau tidak). Atas jawaban Tergugat, Penggugat mengajukan replik dan akan dibalas Tergugat dengan duplik.
Setelah proses jawab menjawab selesai, hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti dilanjutkan dengan tahap pengajuan kesimpulan. Tahap terakhir dalam sidang tingkat peradilan pertama (Pengadilan Negeri) adalah tahap pembacaan putusan hakim dan eksekusi putusan pengadilan terhadap pihak yang dikalahkan.
5. MEDIASI
Pada suatu perkara gugatan, selalu dikenal apa yang dinamakan dengan mediasi, dalam hal ini pengadilan memiliki kewajiban untuk mendamaikan para pihak terlebih dahulu. Secara teknis, mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
6. EKSEPSI, KONVENSI, DAN REKONVENSI
Sejalan dengan Hak Penggugat untuk mengajukan gugatan/tuntutan, Seorang Tergugat diberikan pula hak untuk mengajukan bantahan terhadap gugatan, bantahan mana dapat diajukan melalui :
a. Eksepsi
Eksepsi adalah tangkisan Tergugat atas Surat gugatan Penggugat, baik yang bersifat prosesuil maupun materiil. Beberapa jenis eksepsi disebutkan sebagai berikut :
Eksepsi prosesuil, antara lain :
(1). Eksepsi terkait kompetensi absolut Pengadilan Negeri
(2). Eksepsi terkait kompetensi relatif Pengadilan Negeri :
(a). Eksepsi di luar eksepsi kompetensi, antara lain :
1). Eksepsi terhadap surat kuasa khusus yang tidak sah.
2). Eksepsi cacat subjek pada gugatan (error in personal)
3). Eksepsi nebis in idem, yaitu eksepsi bahwa perkara telah diajukan untuk kedua kalinya atau berulang kali padahal perkara tersebut telah ditolak pada putusan sebelumnya.
4). Eksepsi obscuur libel, yaitu eksepsi bahwa gugatan Penggugat tidak terang, atau isinya gelap.
(b). Eksepsi materiil, antara lain :
1). Exceptio dilatoria, yaitu eksepsi bahwa gugatan Penggugat masih prematur.
2). Exceptio permptoria, yaitu eksepsi yang bermaksud untuk menyingkirkan gugatan, antara lain :
- Kedaluwarsa Gugatan
- Eksepsi yang berisi sangkalan Tergugat bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali tidak pernah diterimanya
- Keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian
- Eksepsi bahwa gugatan yang diajukan Penggugat bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures)
- Eksepsi terkait pelaksanaan perjanjian timbal balik, dimana seseorang tidak berhak menggugat apabila ia sendiri tidak memenuhi apa yang menjadi kewajibannya
- Eksepsi berupa tangkisan Tergugat yang berisi bantahan yang menyatakan bahwa objek barang yang digugat bukan milik Tergugat
- Eksepsi yang berisi dalil bahwa sengketa yang digugat Penggugat, sama dengan perkara yang sedang diperiksa pengadilan.
b. Konvensi
Konvensi, yaitu jawaban Tergugat atas pokok / fundamentum petendi gugatan Penggugat. Dasar hukumnya adalah Pasal 121 ayat (2) HIR / Pasal 145 ayat (2) RBg yang menentukan bahwa Tergugat dapat menjawab Gugatan, baik secara tertulis maupun lisan.
Pengajuan Konvensi atau jawaban atas pokok perkara ini dapat dibarengi dengan eksepsi dan/atau rekonvensi atau tidak. Konvensi dapat dilakukan dalam bentuk tiga hal, yaitu :
(1). Pengakuan, baik atas sebagian atau seluruh gugatan
(2). Membantah dalil Gugatan, mengenai :
a). Bantahan atas kebenaran dalil gugatan
b). Bantahan atas kejadian atau fakta
c). Melumpuhkan kekuatan pembuktian
(3). Tidak memberikan pengakuan atau bantahan.
c. Rekonvensi
Rekonvensi, yaitu gugatan balik dari Tergugat kepada Penggugat, yang diajukan bersama-sama dengan jawaban (baik disertai dengan eksepsi maupun tidak)
7. PENYITAAN
Penggugat yang gugatannya dikabulkan dapat memohonkan penyitaan atas terkabulnya gugatan Penggugat. Berikut jenis penyitaan yang dapat dimohonkan Penggugat pada majelis hakim Pengadilan Negeri :
a. Sita Jaminan (Conservatoir Beslag)
Diatur dalam Pasal 227 jo. Pasal 197 HIR, Pasal 261 jo. Pasal 208 RBg, yang inti sari pengaturannya adalah :
(1). Harus ada sangka yang beralasan, bahwa Tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan, ia mencari akal akan menggelapkan atau melarikan barang-barangnya itu.
(2). Barang yang disita itu adalah kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan milik Penggugat
(3). Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan
(4). Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis
(5). sita ini dapat dilakukan atau diletakkan terhadap barang bergerak atau tidak bergerak
b. Sita Revindikasi (Revindocatoir Beslag)
Revindocatoir beslag yang diatur dalam Pasal 226 HIR dan Pasal 260 RBg memiliki pengertian bahwa "Penyitaan untuk mendapatkan hak kembali". Maksudnya agar barang yang digugat itu jangan sampai dihilangkan selama proses berlangsung. Ketentuan penyitaan revindocatoir beslag adalah :
(1). Harus barang bergerak
(2). Narang bergerak tersebut adalah barang milik Penggugat yang berada ditangan Tergugat
(3). Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara
(4). Barang tersebut harus diterangkan dengan seksama, terperinci.
c. Sita Marital (Marital Beslag)
Diatur dalam Pasal 823 Rv, sita marital dimohonkan oleh pihak istri terhadap barang-barang milik suami, baik barang bergerak atau tidak bergerak
8. PEMBUKTIAN
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.Pasal 163 HIR / 283 RBg mengatakan setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu yang diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
Alat-alat bukti menurut Pasal 284 RBg / 164 HIR / 1866 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
a. Surat
b. Saksi
c. Persangkaan
d. Pengakuan
e. Sumpah
Selain itu terdapat beberapa alat bukti lain, yaitu :
a. Keterangan ahli (Pasal 154 HIR/Pasal 181 RBg)
b. Pemeriksaan setempat atas objek sengketa berupa tanah (Suarat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pemeriksaan Setempat)
c. Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya (Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019)
9. PUTUSAN HAKIM
Pasal 185 ayat (1) HIR membedakan antara putusan sela dan putusan akhir. Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir. Jenis putusan sela diatur dalam Pasal 48 Rv, yaitu :
a. Putusan praeparatoir ialah putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mmepunyai pengaruhnya atas pokok perkara atau putusan akhir.
b. Putusan interlocutoir ialah putusan-putusan yang isinya memerintahkan pembuktian.
c. Putusan insidental ialah putusan yang berhubungan dengan insident, yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.
d. Putusan provisional ialah putusan yang menjawab tuntutan provisional, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan.
Putusan akhir ialah putusan yang mengakhiri suatu sengketa atau perkara dalam suatu tingkat peradilan tertentu. Sifat putusan-putusan akhir dapat dibedakan antara lain :
a. Putusan Condemnatoir ialah putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi
b. Putusan Constitutif ialah putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum
c. Putusan Declaratoir ialah putusan yang isinya bersifat menerangkan atau menyatakan apa yang sah.
10. EKSEKUSI PENGADILAN
Ketentuan tentang melaksanakan putusan hakim diatur dalam Pasal 195 sampai dengan Pasal 208 HIR. Beberapa jenis pelaksanaan putusan, yaitu :
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBg)
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg)
c. Eksekusi riil yang merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan hakim secara langsung
11. UPAYA HUKUM
Sudikno Mertokusumo mendefinisikan upaya hukum sebagai upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Secara teori upaya hukum terbagi menjadi dua jenis, yaitu :
a. Upaya Hukum Biasa
(1). Perlawan (Verzet)
Perlawanan merupakan upaya hukum yang dilakukan Tergugat terhadap putusan verstek, yaitu putusan putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya Tergugat (Pasal 125 ayat (3) jo. Pasal 129 jo. Pasal 149 HIR jo. Pasal 153 RBg)
(2). Banding
Bagi Penggugat yang dikalahkan berdasarkan putusan verstek (diluar kehadiran Penggugat) terbuka upaya hukum banding berdasarkan Pasal 8 ayat (4) UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulang atau Pasal 200 RBg. UU No. 20 Tahun 1947 merupakan peraturan yang dipergunakan untuk mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi.
(3). Kasasi
Putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain. Peraturan yang dapat dirujuk terkait upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung yaitu UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UU No 3 Tahun 2009.
b. Upaya Hukum Luar Biasa
(1). Perlawan Pihak Ketiga (Derden Verzet)
Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) terhadap sita eksekutorial. Dalam hal ini, pihak ketiga dapat mengajukan perlawanan ketika hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan. Dasar hukum perlawanan pihak ketiga adalah Pasal 378 Rv.
(2). Peninjauan Kembali
Pasal 24 ayat (1) UU Republik Indonesia No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam UU.
Selain UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, peraturan yang perlu dirujuk terkait dengan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung adalah UU Republik Indonesia No 14 Tahun 1985 tentang MA sebagaimana telah diuabh terakhir dengan UU Republik Indonesia No 3 Tahun 2009.