Senjata Nonton Bola di Kota Lubuklinggau |
Tidak lama lagi atau mungkin sudah terlalu lama, malapetaka, derita, dan nasib malang sebagai anak bangsa yang hidup didaerah (contohnya Kota Lubuklinggau) akan datang. Ketiganya mengusir kegembiraan dan keceriaan kami untuk duduk bersama, saling cerita, sambil minum kopi aroma khas merek Tora Sudiro (Kebetulan mirip merek salah satu sponsor Liga Indonesia), lalu menyaksikan secara ‘ramai-ramai’ punggawa sepak bola lewat layar kaca. Terkhusus, kami yang hidup di daerah ini dan mungkin didaerah-daerah lain (dimana menonton televisi masih menggunakan "kuali" kaleng atau berjaring kawat), derita nasib malang sebagai anak "daerah" paling sakit terasa menjelang Piala Dunia, Piala Eropa, Copa America dan juga Liga Nasional (Indonesia) dan turnamen papan atas lainnya.
Saat saya menulis opini ini tinggal hitungan jam Piala Eropa 2016 akan digelar sementara Copa Amerika dengan aksi messi, sanchez, serta suarez sudah lebih dahulu digelar sejak awal Ramadhan 6 juni 2016 yang lalu. Kami tidak mungkin pergi menonton langsung ke negara ‘Laissez-faire’ itu untuk menonton Euro France 2016 atau Ke Benua Amerika untuk menyaksikan Copa Amerika. Hanya lewat televisi, kami dan kita di Indonesia bisa menyaksikan laga demi laga. Tidak perlu merogoh kocek berjuta-juta. Cukup dari hasil kerja keras John Logie Baird (penemu TV) itu sudah membawa kita seperti berada dan menonton langsung di stadion pertandingan. Transmisi gambar, suara dan gerak pemain di lapangan hijau dinikmati secara puas, di belahan benua atau negara mana pun.
Adalah nahas bagi kami yang hidup di daerah, khususnya "Kota Lubuklinggau". Keringat John L Baird tidak kami rasakan secara puas. Terutama Piala Eropa, Piala Dunia, dan liga-liga Eropa jarang kami nikmati. Ini ketakutan dan kecemasan kami. Sebab, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sudah menjadi tradisi, saat akan memulai pertandingan atau pertandingan berjalan baru beberapa menit, layar televisi kami langsung mati total. Bukan oleh karena listrik padam (yang sejujurnya memang sering padam di kota kami). Kami di daerah menyebutnya “diblokir” !!!.
Kami sudah biasa dengan layar televisi yang tiba-tiba seperti laron berkumpul, dan tertulis ‘not found’. Chanel siaran diacak. Seketika kami bungkam. Keceriaan kami untuk menyaksikan siaran langsung sepak bola dipaksa berubah kusam. Ini menyakitkan, jauh lebih sakit dari menghujamkan pedang ke jantung dan hati kami. Seakan dilarang keras menonton siaran langsung sepak bola bagi kami yang hidup di pelosok "daerah" (Kota Lubuklinggau). Bisa jadi, hanya dengan ‘blokir’ siaran, bakat sepak bola generasi-generasi kami tidak boleh sehebat Leonel Messi. Entahlah.
Hampir dua tahun saya berada di Bandung (Jawa Barat) , Kemudian beralih 'menghuni' Kota Metropolitan Palembang sekitar enam tahun , menonton siaran langsung sepak bola, baik Liga Nasional, Liga Eropa, Liga Inggris, Liga Spanyol, Piala Eropa dan Piala Dunia sangat mudah. Saya masih ingat, di sebuah rumah kos Jalan Kebun Kawung Bandung dan Juga tinggal di bedeng seputaran Rumah Sakit Hoesen Palembang, saya cukup menghabiskan uang tiga ratus ribu rupiah. Uang itu saya membeli sebuah TV tuner dan antene sebesar panggangan ikan maka jadilah, bersama teman-teman, kami bisa memirsa berita, menyaksikan pertandingan sepak bola dari ujung dunia mana pun, jika disiarkan langsung oleh TV nasional.
Di 'Kota Lubuklinggau' punya TV untuk memirsa berita, mengakses informasi dan sekedar hiburan menonton siaran langsung sepak bola mesti membayar mahal. Tidak cukup TV dengan antena biasa. Kita harus membeli parabola khusus plus receiver dan berlangganan (Membayar iuran tiap bulan). Sekarang harganya lumayan mahal, sekitar 1 juta rupiah-an. Hukum permintaan dan penawaran akan berlaku. Terlebih menjelang Piala Eropa 2016 ini. Menjelang Piala Dunia yang lalu harganya menusuk hingga 1 juta rupiah lebih. Setelah membeli parabola, kita harus juga membeli alat penerima pesan gambar dan suara. Namanya receiver. Sekarang pihak penjual mematok harga 600 ribu rupiah. Menjelang Piala Dunia 2014 lalu, harga alat ini menembus 1,3 juta rupiah.
Tidak hanya itu, hanya dengan mengotak-atik nomor dan merek, tidak semua receiver mampu menerima dan menampilkan siaran sepak bola secara langsung. Ada beberapa jenis merek receiver yang ditawarkan kepada kami. Indovision, dalam promosi iklannya meyakinkan bisa siaran jernih meski cuaca hujan, badai dan angin kencang. Nyatanya, gol yang sama bisa berbeda waktu. Tetangga sebelah lebih duluan 3 menit teriak “goolllll”. Sementara Orange TV dan K-Vision sekarang lagi naik panggung, seraya perlahan melepas pergikan Matriks. Ajang Piala Dunia kemarin nama K-Vision melambung. Harganya pun ikut naik, menyentuh 1juta rupiah. Belum termasuk pulsa paket bulanannya. Nah, itulah malangnya kami di Kota Lubuklinggau.
Menonton siaran sepak bola itu mahal. Jangan hidup di 'daerah' kalau hobi nonton bola. Bisa-bisa stres dan gila. Sebab saat nonton layar monitor TV berubah suram, chanel diacak. Di saat itu pula, kegembiraan dan keceriaan menjadi muram durjana. Menyedut aroma kopi sambil bersungut-sungut. Not found. Chanel sedang diacak-acak. Saluran diblokir.
Seperti menjelang Piala Eropa 2016, 10 Juni ini, kami sudah menebak-nebak, receiver apa yang akan digunakan para penyedia rakus. Orange TV atau tetap K-Vision? , Ternyata Indovision dengan soccer chanel-nya adalah saluran resmi UEFA Euro 2016. Terjadilah, Blokir dan acak akan pastiterjadi jika tidak berlangganan plus beli paket yang disuguhkan (soccer chanel).
Maklumlah, meski mahal isi dompet tetap dikuras. Bukan karena kami kaya. Semata-mata kami suka sepak bola. Kami suka kebersamaan dalam aroma segelas kopi TORA SUDIRO yang nikmat. Kami rindu keceriaan. Bersama terciptanya gol-gol indah tim kesayangan, kami rindu arti berbagi kegembiraan.
Akhirnya, selamat menyambut UEFA Euro 2016 dengan doa harapan, moga-moga layar TV tidak diacak, chanel siaran tanpa blokir. Sambil tetap menjaga isi dompet penuh karena lebih dibutuhkan buat lebaran.